Filsafat
Islam
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV
SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum
sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar
Masedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang
dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang
dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah
falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat
peradaban Yunani seperti lskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia
di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di
lran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad
menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara
kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir , Suria serta Irak, dan
kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan
Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi
penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam
agama dan bahwa kewajiban orang Islam han'ya menyampaikan ajaran-ajaran yang
dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk Islam. Mereka tetap memeluk
agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
Dari warga negara non Islam ini timbul satu
golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin
memajuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan
argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani. Dari
pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak
dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk
itu mereka pelajari falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang
tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang
tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Dengan demikian timbullah di panggung
sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah.
Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah :
1. Kedudukan
akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah
dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah.
Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata
mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya.
Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu.
2. Akal
menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang
kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu
berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu
berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang
di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada
konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
3. Pemikiran
filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka
keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan
Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan
Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang
ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu
perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan
keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan
Islam, bukan hanya falsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII
dan ke XIII M.
Filosof besar pertama yang dikenal adalah
al-Kindi, (796- 873 M) satu-satunya filosof Arab dalam Islam. la dengan tegas
mengatakan bahwa antara falsafat dan agama tak ada pertentangan. Falsafat ia
artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam
pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.
Selajutnya falsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam
penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut
pemikiran falsafat kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar
Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan
Al-Kindi adalah Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama.
Falsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah falsafat ketuhanan atau
teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari
falsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib.
Dengan falsafat "al-Haqq
al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti
banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa
yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep
dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang
ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi
falsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting
adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalarn benda-benda
itu disebut kulliat (keumuman, universals ). Tiap-tiap benda mempunyai hakikat
sebagai juz'i (haqiqah juz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal
dalam bentuk jenis.
Memurnikan tauhid memang masalah penting
dalam teologi dan falsafat Islam. Dalam hal ini Al-Farabi (870-950 M) memberi
konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta alam
semesta, berhubungan langsung dengan ciptaan nya yang tak dapat dihitung
banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam
diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar
menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan
falsafat emanasi (al-faid, pancaran) dari Al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir
tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena
pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu
menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah
Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah
mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya
tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek
pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan
Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang.
Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan
berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan
demikian diperolehlah gambaran berikut:
Akal l11 menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi
yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang
terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang
tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat
filosof Islam adalah melekat.
Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta
dalam falsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak
ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II
melalui Akal l11 dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui
Akal X.
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan
yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi, Ibn Sina
dan filosof-filosof Islam yang menganut faham emanasi.
Alam dalam falsafat Islam diciptakan bukan
dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah.
Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti
diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada,
tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
Karena Tuhan berfikir semenjak qidam, yaitu
zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula
qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal
I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan
tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim, yang
dikritik AI-Ghazali.
Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas
filosof-filosof Islam ada pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam
disebut al-nafs. Falsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang
diberikan Ibn Sina (980 -1037 M). Sama dengan AI-Farabi ia membagi jiwa kepada
tiga bagian:
1. Jiwa
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa
binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya
menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra da1am yang berada di
otak dan terdiri dari:
i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
v. Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu.
i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
v. Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu.
3. Jiwa
manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal
terbagi dua:
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada
alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia
terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya
adalah jiwa berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal praktis, kalau
terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari
indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan
akal teoritis akan berkembang dengan baik.
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan :
I. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap arti-arti murni.
2. Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni.
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti murni.
4. Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan memiliki filosof-filosof. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.
I. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap arti-arti murni.
2. Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni.
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti murni.
4. Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan memiliki filosof-filosof. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.
Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri,
yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa
berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas,
yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti
yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti
murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada
badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti
murni.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap
dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik
seperti dijelaskan sebelumnya, Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan
di dunia ini tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Jiwa manusia, berlainan
dengan kedua jiwa di atas, fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik
tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan
diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh-tumbuhan dan
binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai
kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di
akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia
akan mengalami kesengsaraan kelak.
Dari faham bahwa jiwa manusialah yang akan
menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani
yang juga dikritik al-Ghazali.
Demikianlah beberapa aspek penting dari
falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan
tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta
diferensia (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya
pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.
Pemurnian itu membawa Al-Farabi pula kepada
falsafat emanasi yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula
dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan dalam
falsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang banyak dan hanya
berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak
mengetahui juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan mengetahui
hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah yang
mengatur planet-planet maka Akal I, II dan seterusnya itulah yang mengetahui
juz'iat atau kekhususan yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah
jiwa berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak ada.
Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang sains para filosof percaya
pula kepada tidak berubahnya hukum alam.
Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang
dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filosof lslam. figa,
diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu
:
1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam
zaman
2. Pembangkitan jasmani tak ada
3. Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi di alam.
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena qadim dalam falsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.
2. Pembangkitan jasmani tak ada
3. Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi di alam.
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena qadim dalam falsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.
Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak
perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme
dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid, yang
sebagaimana dilihat di atas para filosof mengusahakan Islam memberikan arti
semurni-murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filosof
yang percaya bahwa alam ini qadim.
Mengenai masalah kedua, pembangkitan
jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya
pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa yang
menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini? Katakanlah: Yang menghidupkan
adalah Yang Menciptakannya pertama kali". Maka pengkafiran di sini
berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani dengan
teks al-Qur'an, yang adalah wahyu dari Tuhan.
Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan
tidak mengetahui perincian yang ada di alam, juga didasarkan atas keadaan
falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama dapat
disebut ayat 59 dari surat Al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak
diketahui-Nya.
Pengkafiran Al-Ghazali ini membuat orang di
dunia lslam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran, menjauhi
falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat
bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah falsafat tetapi tasawuf.
Dalam pada itu sebelum zaman Al-Ghazali telah muncul teologi baru yang
menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy'ari
(873-935), yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh
sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan faham Mu'tazilahnya dan
menimbulkan, sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah, teologi baru yang kemudian
dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.
Sebagai lawan dari teologi rasional
Mu'tazilah, teologi Asy'ari bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat
dari hal-hal berikut :
1. Dalam teologi ini akal mempunyai
kedudukan rendah, sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari
teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk
menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan falsafi.
2. Karena akal lemah, manusia dalam teologi
ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa, yang belum
bisa berdiri sendiri, tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk
membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan faham jabariah atau
fatalisme, yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap
statis.
3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik
tolak dari faham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan
menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena
itu hukum alam dalam teologi ini tak terdapat; yang ada ialah kebiasaan alam.
Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam, selamanya
membakar , tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.
Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini
tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis, sebagaimana
halnya dengan teologi rasional Mu'taziiah. Sesudah al-Ghazali, teologi
tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak
mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang
lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filosof-filosof
Islam.
Di dunia Islam bagian Barat, yaitu di
Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya, pemikiran filosofis masih berkembang
sesudah serangan a1-Ghazali tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya
Risalah al- Wida' kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa
bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada
kebenaran yang meyakinkan.
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy
Ibn Yaqzan malahan menghidupkan pendapat Mu'tazilah, bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti adanya
Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan
dan kewajiban manusia berbuat baik dan mejauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal
ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu
pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia
sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat
emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusydlah (1126-1198 M) yang mengarang
buku Tahufut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Albpg-Ghazali
yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasijah.
Mengenai masalah pertama qidam al-alam,
alam tidak mempunyai permulaan dalam zaman, konsep AI-Ghazali bahwa alam hadis,
alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa
ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan,
dengan kata lain, di ketika itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan
alam dari tiada atau nihil.
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak
sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa sebelum
alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud
umpamanya mengatakan, Dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika
Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari
Ha Mim menyebut pula, Kemudian la pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan
uap.
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah
uap, dan air serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat ' bahwa
langit dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami
jadikan segala yang hidup dari air.
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan
bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd
menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat
hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan kandungan
al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah konsep
al-Farabi, Ibn Sina dan filosof-filosof lain. Di samping itu, kata khalaqa di
dalam al-Qur'an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari
"tiada", seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari
"ada", seperti yang dikatakan filosof-filosof. Ayat 12 dari surat
al-Mu'minun, menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari, tanah. Manusia
di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada" tetapi dari sesuatu
yang "ada", yaitu intisari tanah seperti disebut, oleh ayat di atas.
Falsafat memang tidak menerima konsep.
penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo).
"Tiada", kata Ibn Rusyd tidak bisa berobah menjadi "ada",
yang terjadi ialah "ada" berobah menjadi "ada" dalam bentuk
lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat
dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit.
Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah
baru (hadis ). Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada
politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafat bukan hanya
berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan
dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau sampai
ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak
diciptakan, tetapi adalah pencipta dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam
keadaan terus menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir . Dengan
demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan.
Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan
diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat
47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
Jangan1ah Sangka bahwa Allah akan menyalahi
janji bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi
balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan ( demikian pula) langit.
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti,
tegasnya di hari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan
demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain. Konsep ini
mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur
susunannya dan menjadi materi asat api, udara, air dan tanah kembali dari
keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi
dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula
bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi
pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus
adalah sesuai dengan kandungan al-Qur'an.
Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai
argumen kuat untuk mengkafirkan filosof dalam falsafat mereka tentang qadimnya
alam.
Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak
al-Farabi dan pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing tentang
ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah
pendapat filosof dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filosof dengan pendapat
al-Ghazali.
Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak
mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para
filosof tak pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui
perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan mengetahui perincian
itu. Perincian berbentuk materi dan materi dapat ditangkap pancaindra, sedang
Tuhan bersifat immateri dan tak mempunyai pancaindra.
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis
dalam Tahafut al-Tahafut bahwa filosof-filosof Islam tak menyebut hal itu.
Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali.
Di dalam Tahafut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang
berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia
mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan rohani dan
pembangkitan jasmani tidak ada.
Dengan demikian al-Ghazali juga tak
mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan kaum filosof dalam pemikiran tentang
tidak tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya pembangkitan
jasmani. Ini bukanlah pendapat filosof, dan kelihatannya adalah kesimpulan yang
ditarik al-Ghazali dari filsafat mereka.
Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana
filosof-filosof Islam lain, menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak
ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak
berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan dengan teks
wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti
ta'wil ada1ah meninggalkan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan kata
lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti tersirat. Tetapi arti
tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat
memahaminya.
Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd
mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini aka1 mempunyai kedudukan tinggi.
Pengharmonian aka1 dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan
averroisme. Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang mengatakan
bahwa pendapat falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah. Agama mempunyai
kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasiona1
dan ilmiah di Eropa.
Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam
di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya
tingga1 di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini
terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia.
Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di
Spanyol, hilang pulaah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian
barat.
Di
dunia Islam bagian timur, kecuali di ka1angan Syi'ah, teologi tr0