Jumat, 03 Juli 2015

Quran dan Para Imam Maksum

Quran dan Para Imam Maksum
Di sini, kami akan sedikit perlihatkan sejumlah ayat Quran yang terkait dengan para imam yang hak dan maksum.

Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian, Ahlulbait, dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzab : 33)

Katakanlah, “Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah pun atas seruanku melainkan kecintaan kepada keltaargaku. “ Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. asy-Syura : 23)

Siapa yang membantahmu tentang kisalt Isa sesudah datang ilmu (yang telah diberikan kepada kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dari kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali Imran : 61)

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai! (QS. Ali Imran : 103)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.
(QS. at-Taubah : 119)

Sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. (QS. al-An’am : 153)

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul darv orang-orang yang diberi otoritas tinggi (ulil amri) di antara kalian. (QS. an-Nisa : 59)

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kumi biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. an-Nisa : 115)

(Wahai Nabi) Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemheri peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada seorang pemberi petunjuk. (QS. al-Ra’d : 7)

Bimbinglah kami di jalan yang lurus. Jalan orang – orang yang Engkau telah engkau berikan rahmat… ( Qs al-fatihan : 6-7)

Orang-orang yang dianugrahi oleh Allah yakni para nabi, para Shuada, Para Syahif dan orang – orang yang sholeh. (Qs an-Nisa : 69)

Mereka (yakni para nabi dan Imam) tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka berbuat (dalam segala sesuatu) karena perintah-Nya. Dia (Allah) mengetahui apa yanga da di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka dan mereka orang - orang suci itu) itu tidaklah memberi syafaat kecuali pada orang yang Allah Ridhai, dan mereka itu takut dan hormat kepada (keagungan)-Nya. (Qs. Al-Anbiya : 27 : 28 )

Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang – orange yang beriman, yang mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, seraya mereka itu rukuk dalam shalat ( Qs al-Maidah : 55 ) 

Dan sesungguhnya aku maha pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal yang mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, seraya mereka saleh, dan kemudian mengikuti petunjuk. ( Qs Thaha : 82 )

Wahai orang – orang yang beriman, masukilah kedamaian secara beriman, beramal saleh, dan kemudian mengikuti petunjuk. ( Qs al-Baqarah : 208 )

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan. ( Qs at-Takatsur : 8 )

Wahai (engkau) rasul, sampaikanlah apa yang tidak di turunkan kepadamu oleh Tuhanmu, apabila engkau tidak berbuat demikian artinya engkau tidak berbuat demikian, artinya engkau belum menyampaikan risalah-Nya sama sekali. Dan Allah akan menjagamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yanga kafir. ( Qs. Al-Maisah : 67 )   

Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang  kafir.
(QS. al-Maidah : 67)

Pada hari ini telah Kusempumakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itra jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah : 3)

Seorang penanya telah bertanya tentang kedatangan azab tak terelakkan kepada orang-orang kafir, yang tidak seorang pun bisa menolaknya. (QS. al-Ma’arij : 1-2)

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan mengambil kesaksian mereka terhadap jiwa mereka. (Dia bertanya), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Benar, kami menyaksikan. “ (QS. al-A’raf : 172)

Ataukah mereka dengki kepada orang-orang itu karena karunia yang Allah telah limpahkan kepada mereka? (QS. an-Nisa : 54)

Tidak seorang pun menyentuh (kedalaman makna al-Quran) kecuali hamba – hamba yang disucikan. (Qs. Al-Waqi’ah : 79)

Tidak seorang pun yang mengetahui takwilnya melainkan Allag dan orang – orang yang disucikan ( Qs. Ali Imran : 7)

Bertanyalah kepada ahli zikir (orang-orang yang berilmu) jika kalian tidak mengetahui! (QS. al-Anbiya : 7; al-Nahl : 43)

Ganjaran Mencintai Ahlulbait
Kami menemukan hadis menakjubkan berikut dalam salah satu kitab Tafsir al-Kabir karya Fakhrurrazi, seorang ulama Sunni terkemuka dengan berbagai kepakaran yang dimilikinya seperti tafsir, fikih, dan teologi. Hadis ini pun dapat dijumpai dalam karya tafsir Quran Sunni lainnya, Tafsir al­Kasysyaf susunan Zamakhsyari juga Tafsir ats-Tsa’labi.
Sebelum masuk ke teks tersebut lebih jauh, penting kiranya untuk menunjikan  bahwa suatu cinta sejati senantiasa disertai dengan ketaatan.
Seseorang yang tergila-gila pada orang lain, mengerjakan segala sesuatu untuk memuaskan sang kekasih, dan tidak membiarkan dirinya sendiri membangkang terhadap orang yang ia cintai. Itulah sebabnya’cinta hakiki’ adalah wajib dan mencukupi. Suatu cinta sejati mempengaruhi setiap perbuatan manusia dan mengarahkannya pada tujuan tertentu selaras dengan orang yang ia cintai. Jadi siapa saja yang mengklaim mencintai Nabi dan Ahlulbaitnya namun tetap mendurhakai mereka, sesungguhnya ia seorang pendusta.
Setelah menyampaikan teks hadis kami akan kutip ayat Quran yang terkait. Kami juga akan menyajikan sejumlah hadis lain yang diriwayatkan oleh golongan Sunni yang nyata-nyata menyebutkan nama orang-orang yang kecintaan terhadap mereka adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda,

“Barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia seorang syahid.”

Barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia diampuni (dosanya).

Barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati dalam keadaan bertobat.

Sesungguhnya ia yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia mati sebagai seorang mukmin dengan keimanan yang sempurna.

Barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, malaikat maut menyampaikan kepadanya berita gembira tentang surga, dan demikian juga dua malaikat yang akan bertanya kepadanya (Munkar dan Nakir).

Dan sesungguhnya barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, akan diarak ke surga laksana mempelai perempuan yang dibawa ke rumah suaminya.

Ingatlah, barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, baginya akan ada dua pintu surga dalam kuburnya menuju surga.

Sesungguhnya barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, Allah akan menjadikan kuburnya sebagai tempat suci yang dikunjungi para malaikat pemurah.

Dan sesungguhnya ia yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia mati di atas Sunnah.

Jangan ragu, barangsiapa yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, akan sampai di hari pengadilan sementara di dahinya tertera ia berputus asa dari rahmat Allah.

Ingatlah, barangsiapa yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, ia matinya dalam keadaan kafir.

Barangsiapa yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, tidak akan pernah menciup wanginya surga.24

Fakhrurrazi dan yang lainnya menyatakan bahwa hadis di atas merupakan tafsir ayat Quran berikut dimana Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
(Wahai Nabi) Katakanlah (kepada manusia), “Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada keluargaku!” Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akltn Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu (sebagai balasan atas itu). (QS. asy-Syura : 23)

Hal ini telah diriwayatkan secara luas oleh para mufasir Sunni. Misalnya, Ibnu Abbas meriwayatkan,
“Ketika ayat di atas (asy-Syura: 23) diturunkan, para sahabat ber­tanya, “Wahai Rasulullah, siapakah kerabat dekat yang kepadanya Allah mewajibkan kita untuk mencintai mereka?” Nabi SAW menjawab, ‘Ali, Fathimah, dan kedua putra mereka (Hasan dan Husain).” Beliau mengulang-ulang jawaban tersebut sebanyak tiga kali.25

Kemudian Nabi SAW melanjutkan, “Sesungguhnya Allah telah menyerahkan upahku (dari keNabian) untuk mencintai Ahlulbaitku, dan  aku akan mempertanyakan kepada kalian tentang hal itu pada hari pengadilan.26
Dalam hadis lain, kita baca Rasulullah SAW bersabda, “Aku nasehati kalian agar bersikap baik kepada Ahlulbaitku karena sesungguhnya aku akan mempersoalkan kalian tentang mereka pada hari pengadilan, dan barangsiapa yang aku berselisih dengannya, ia akan masuk neraka.”
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang menghormatiku dengan menghormati Ahlulbaitku, ia telah mengambil perjanjian dari Allah (untuk memasuki surga).”27
Selain itu, Khatib dan Ibnu Hajar meriwayatkan berdasarkan otoritas Anas bin Malik yang berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Julukan buku (shahifah) orang beriman adalah kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib.”28
Dalam hadis di atas,’Kitab Orang Beriman’ merujuk pada cara seorang beriman menyikapi masalah-masalah, yakni kehidupannya sehari-hari dan catatan hariannya.
Berdasarkan tafsir Quran ayat Sesungguhnya  orang-orang yang beriman dan beramal  saleh, kelak Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa cinta (QS. Maryam : 96), Hafizh Salafi menulis, “Muhammad bin Hanafiyah berkata, ‘Bukanlah seorang mukmin kecuali dalam hatinya ada perasaan cinta pada Ali dan keluarganya.”‘ Dalam hal ini, Baihaqi, Abu Syaikh, dan Dailami melaporkan bahwa Rasulullah SAW berkata, “Seorang hamba Allah bukanlah seorang mukmin (hakiki) kecuali jika ia lebih mencintaiku daripada jiwanya sendiri serta mencintai keturunanku lebih daripada jiwanya dan keluarganya sendiri.”29
Tirmidzi dan Ahmad meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesiapa yang mencintaiku dan mencintai kedua anak ini (Hasan dan Husain), dan mencintai ayah-ibu mereka, maka ia akan bersamaku kelak di surga.”30
Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang beruntung, hanya orang-orang yang beruntung, dan yang beruntung sejati adalah ia yang mencintai Ali dalam masa hidupnya di dunia dan di akhirat.”3
Para ulama Sunni juga meriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali as menyampaikan sebuah wacana pada kesyahidan Imam Ali;
“Akulah anggota Ahlulbait yang Allah telah mewajibkan kecintaan kepada mereka menjadi wajib bagi setiap Muslim ketika Dia menurunkan kepada Nabi-Nya SAW, (Wahai Nabi) katakanlah (kepada manusia), “Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada keluargakra. Dan bararrgsiapa meugerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu (sebaqai balasan atas itu)!” (QS. asy­Syura : 23). Dengan demikian, carilah amal saleh melalui kecintaan kepada kami, Ahlulbait!32

Lebih lanjut, diceritakan bahwa Ibnu Abbas berkata,

“Amal saleh dalam ayat Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akan Kami tambahKern baginya kebaikan pada kebaikannya itu (sebagai balasan atas itu). (QS. asy-Syura: 23), adalah kecintaan kepada keluarga (al) Muhammad SAW.33

Para ahli hadis Sunni juga menuturkan bahwa selepas kesyahidan Imam Husain ketika keluarganya dijadikan tawanan dan dibawa ke Damaskus, seorang lelaki di kota (yang bersama orang lain melihat rombongan tawanan di kota itu) berkata kepada Zainal Abidin bin Husain, “Segala puji bagi Allah yang menghancurkan dan menjadikan kalian tidak berdaya, dan memotong akar pemberontakan.” Saat itu juga Zainal Abidin berkata, “Tidakkah engkau membaca ayat Katakanlah (kepada manusia), “Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada keluargaku?” Lelaki itu bertanya, `Apakah kalian yang dimaksud itu?” Beliau menjawab, “Ya, benar.”34
Berlawanan dengan semua hadis yang disebutkan di atas, Yusuf Ali mempunyai suatu tafsiran yang sangat ganjil untuk Surah asy-Syura ayat 23. Ia menulis,
“Tidak ada bentuk ganjaran nyata yang Nabi Allah minta karena menyampaikan kabar gembira dari Allah. Namun setidaknya ia mempunyai hak untuk meminta kerabat dan sanak saudaranya agar jangan menganiayanya dan meletakkan segala jenis rintangan di jalannya, sebagaimana yang suku Quraisy lakukan terhadap Nabi suci.”

Implikasi dari ulasan Yusuf Ali itu adalah, bahwa melalui ayat di atas, Nabi tengah meminta kerabatnya untuk tidak menganiayanya dan mereka semestinya mencintai kerabatnya, yakni Nabi. Nyatanya, hadis-hadis Nabi yang disebutkan di atas sekaitan dengan turunnya Surah asy-Syura ayat 23, bertolak belakang dengan ulasan Yusuf Ali. Kami heran, apakah kita harus mengambil pendapat Nabi ataukah pendapat Yusuf Ali? Menarik untuk dicatat bahwa hadis-hadis yang dicantumkan di atas diriwayatkan oleh para ahli hadis Sunni tersohor melalui sejumlah perawi. Yusuf Ali bukanlah seorang ahli hadis dan kaum Sunni pun tidak menganggap karya tafsirnya sebagai karya tafsir yang otoritatif.
Selain itu kita bisa membuktikan secara logis bahwa tafsir Yusuf Ali tidaklah benar. ‘Keluarga dekat itu’ adalah keluarga Nabi sendiri. Karena Nabi Muhammad hanyalah satu orang. Apabila Allah SWT hendak berkata, “Cintailah Nabi karena ia adalah keluargamu!” Dia bisa saja berkata demikian, dan Dia tidak akan menggunakan’keluarga dekat’. Lagi pula, dari ayat itu jelaslah Allah SWT tidak berbicara kepada non-Muslim, karena ayat itu berbicara seputar upahnya sebagai balasan atas dakwah keNabiannya. Jadi, orang-orang kafir tersebut (di antara keluarganya ataupun yang lainnya) yang tidak mengenalinya sebagai seorang Nabi, bukan sasaran pembicaraan. Upah jenis apakah yang bisa Nabi harapkan dari seorang kafir (di antara keluarganya atau yang lainnya) yang tidak mengenalinya sebagai seorang Nabi?
Demikianlah, mereka itu adalah kaum Muslim yang dituju oleh ayat tersebut. Kini jika memang Yusuf Ali memaksudkan bahwa ayat itu dialamatkan kepada orang-orang Muslim yang notaben adalah keluarganya, maka kami ingin bertanya, “Siapakah keluarga dekat Nabi yang seorang Muslim namun mencoba menganiaya Nabi?” Jawabannya, tidak ada sama sekali. Jika anda berpikir sebaliknya, silakan ajikan bukti anda dari sejarah kehidupan Nabi SAW.
Oleh sebab itu, tafsir Yusuf Ali tidaklah selaras dengan hadis-hadis Sunni yang disebutkan di atas dalam hal ini, tidak pula selaras dengan logika.
Kami tidak bermaksud mendiskusikan semua kesalahan yang terdapat dalam karya-karya Yusuf Ali. Kendati demikian, adalah berguna untuk menyebutkan terjemahannya atas sebuah ayat Quran sekaitan dengan topik barusan, kemudian membandingkannya dengan terjemahan lainnya. Ayat ini sangat serupa dengan ayat Quran yang disebutkan di Was (QS. asy-Syura : 23). Dalam Surah Saba ayat 47 dikatakan (Wahai Nabi) Katakanlah (kepada manusia), “Apapun yang aku minta kepadamu sebagai upah sebagai balasan atas keNabianku) adalah untuk (kepentingan)mu (manusia).”
Berikut ini terjemahan dari Pickthall, Katakanlah, “Apapun upah yang aku terima kepadamu adalah untukmu.”
Sekarang, mari kita lihat terjemahan Yusuf Ali! Katakanlah, “Tidak ada suatu upah pun yang aku minta dari kalian. Ini (semua) dalam kepentingan kalian.”
Siapapun bisa melihat bahwa terjemahan Yusuf Ali mengajikan pengertian yang sangat berlawanan dengan yang lain. Dalam terjemahan ayat di atas, Yusuf Ali menyatakan bahwa Nabi tidak meminta upah apapun. Karena itu, Yusuf Ali menentang terjemahannya sendiri dalam ayat lain yang disebutkan sebelumnya (QS. asy-Syura : 23) di mana ia menyatakan bahwa Nabi benar-benar meminta upah itu. Yusuf Ali : Katakaralah, “Tiada suatu rapah pun yang aku minta kepadamu untuk ini kecuali kecintaan kepada keluarga dekat.” (QS. asy-Syura : 23)
Tak pelak lagi bahwa pahala atau upah Nabi berada di sisi Allah SWT. Akan tetapi, dengan perintah Allah SWT di atas, Nabi benar-benar meminta manusia untuk mencintai keluarganya sebagai upahnya. Permintaan mrscbut sesungguhnya demi keuntungan manusia sendiri sebagaimana trrungkap pada surah Saba ayat 47. Ayat-ayat Quran sesungguhnya, saling menjelaskan satu sama lain. Yang lebih mengherankan, ada ayat ketiga dengan lafaz lain yang mengimplikasikan bahwa manfaat atau keuntungan  yang manusia peroleh dengan memenuhi permintaan Nabi (yakni kecintaan dan ketaatan kepada Ahlulbait) adalah bahwa mereka akan dibimbing  menuju jalan (sabil) Allah.
Katakanlah, “Aku tidak meminta kepada kalian sedikitpun upah dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan (sabil) kepada jalannya.” (QS. al-Furqan : 57)

Terjemahan Pickthall: Katakanlah, “Aku tidak meminta kepada kalian sedikitpun atas hal ini kecuali orang – orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya (Qs al-Furqan : 57 )

Letakkanlah surah ini di samping asy-Syma:23 dan Saba:47 mem­berikan bukti pada fakta bahwa setiap anggota Ahlulbait adalah jalan lurus (sabil) kepada Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Jalan lurus Allah SWT tidak lebih dari satu, sekalipun ia termanifestasi dalam suatu rangkaian para imam yang ditunjuk Tuhan. Karena itu, setiap pemimpin atau imam ini adalah jalan unik Allah SWT di zaman mereka masing-­masing, dan melalui mereka manusia bisa beroleh perlindungan terhadap perselisihan-perselisihan dalam masalah-masalah agama. Sesungguhnya, Rastrlullah SAW membenarkan kesimpulan di atas dari ayat yang terakhir.
Ibnu Sa’d dan Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Aku dan Ahlulbaitku adalah pohon di surga yang cabang-­cabangnya menjulur ke dunia ini. Jadi barang siapa yang menghendaki, ambillah jalan menuju Tuhannya (mengambil cabang dan mencapai batang di surga)!”34

Bagian yang dicetak miring di atas dalam hadis N~bi SAW merupakan ayat Quran yang disebutkan di atas (QS. al-Furqan : 57). Cinta sejati kepada Ahlulbait sesungguhnya akan mewajibkan mengikuti jalan lurus mereka yang menjamin kesejahteraan manusia di dunia ini juga surga di akhirat kelak.

Bagaimana Cara Bershalawat kepada Nabi Muhammad?

Ketika bershalawat kepada Nabi Muhammad, sebagian mengucapkan,

“Allahumma shalli ala Muhammad (SAW),” sebagian lagi mengucapkan, “Allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad,” sebagian lagi yang lebih pemurah mengucapkan, “Allahumma shalli ala Muhammad wa alihi wa azwajihi wa shahbihi ajma’in.”

Kini mari kita lihat bagaimana Nabi sendiri mengajari kita cara bersalawat kepadanya!
Rasulullah SAW berkata, “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan buntung!” Para sahabat bertanya, “Apakah shalawat buntung itu?” Nabi SAW menjawab, “Yakni mengucapkan Allahumma shalli ala muhammad.” Mereka bertanya,’Apa yang harus kami ucapkan?” Nabi SAW menjawab, “Ucapkanlah Allahumma  shalli ala  Muhammad wa  ahlibaitihi.” Dalam ucapan lain beliau menjawab, “Ucapkanlah Allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad  kama shallaita ala Ibrahim ma ali Ibrahim. Innaka hamidun majid!”35
Perkataan Nabi ini berhubungan dengan ayat Quran yang diturunkan berkaitan dengan keluarga Ibrahim as:
Mereka (para malaikat) berkata, “Apakah kamu nurasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) Rahnrat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu hai Ahlulbait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS. Hud : 73)

Selain itu, Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa sebagian mufasir Sunni telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat Quran yang berbunyi, “Kesejahterann dilimpahkan atas keluarga Yasin (QS. ash-Shaffat : 130),” mengacu pada keluarga Muhammad.36
Dari hadis yang dinukil sebelumnya, siapapun bisa melihat bahwa Rasulullah SAW menyebutkan namanya dan Ahlulbaitnya secara berbarengan, dan membenci bila hanya menyebutkan namanya saja. Secara khusus ia memerintahkan agar para pengikutnya memasukkan kuluarganya dalam semua perkumpulan (majelis) mereka dengan Nabi Muhammad. Hal ini karena hanya orang-orang itu yang Quran membenarkan kesucian kesempurnaan mereka (kalimat terakhir dalam Surah al-Ahzab ayat 33) yang pantas menerima shalawat. Mari kita lihat lebih banyak lagi hadis. Kali ini dari Shahih Bukhari.
Diriwayatkan dari Abu Said Khudri:
Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, (kami tahu) shalawat ini (kepadamu) tapi bagaimana cara kami memohon kepada Allah untukmu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah Ya Allah, sampaikanlah shalawat-Mu kepada Muhammad, hamba-Mu dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau sarnpaikan shalnzuat-Mu kepada keluarga Ibrahim. Dan sampai­kanlah berkah-Mu kepada Muharrunad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau sampaikan berkah-Mu kepada keluarga Ibrahim!”37

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazim dan Darawardi:
Yazid melaporkan (hal yang sama dengan kata-kata berikut), “... dan sampaikan berkah-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau sampaiakn berkah-Mu kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.”38
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abi Laila:
Ka’b bin Ujrah bersua denganku dan berkata, “Maukah engkau aku beri hadiah? Suatu ketika Nabi SAW datang kepada kami dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami tahu bagaimana cara memberi salam kepadamu, tapi bagaimana cara menyampaikan shalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Ya Allah, sampaikan shalawat-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau kirimkan shalawat-Mu kepada keluarga Ibrahim. Ya Allah! Sampaikan berkah-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau kirim berkah-Mu kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia!’40

Abu Mas’ud Badri meriwayatkan,
“(Suatu saat) kami tengah duduk – duduk bersama Sa’d bin Ubadah ketika  Nabi SAW datang kepada kami. Basyir bin Sa d bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, kami telah diperintahkan oleh  Allah untuk menyampaikan rahmat kepadamu dengan mengucapkan shalawat, lantas bagaimana cara kami melakukan hal ini?” Nabi SAW terdiam beberapa saat, sehingga kami berharap bahwa Basyar bin Sa’d tidak menanyakan lagi kepada Nabi SAW. Setelah beberapa saat Nabi SAW mengatakan hal ini, “Ya Allah, sampaikanlah shalawat-Mu kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagairnana Engkau sampaikan shalawat­Mu kepada Ibrahim dan berkatilah Muhammad dan keturunan Muhammad sebagaimana Engkau berkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” Selanjutnya, Nabi SAW berkata, “Apapun salam telah engkau ketahui.”41

Meskipun hadis-hadis di atas membenarkan bahwa Nabi SAW memerintahkan manusia untuk menyampaikan shalawat kepadanya dan keluarganya, hal ini tidak bisa dianggap sebagai pengagungan diri. Sebaliknya ia merupakan perintah dari Allah SWT untuk melakukannya. Ia berperansebagaipengajaranSunnahkepadamanusia. Hadis terakhir malah memperlihatkan bahwa Nabi tengah menunda untuk menyampaikan shalawat kepada dirinya sendiri pertama kali, tetapi karena ia perintah Allah SWT, ia menyampaikan pesan tersebut.
Hadis lain,
ketika Rasulullah SAW sedang memperhatikan turunnya sebuah rahmat Allah, beliau berkata kepada Shafiyyah (salah seorang istri beliau), “Panggilkanlah untukku! Panggilkanlah untukku!” Shafiyyah berkata, “Panggil siapa, wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Panggillah untukku, Ahlulbaitku yakni Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain!” Lalu kami memanggil mereka dan mereka pun datang menemuinya. Lantas Nabi SAW membentangkan jubah luarnya kepada mereka, dan mengangkat kedua tangannya (menghadap langit) seraya berdoa,’Ya Allah! Inilah keluargaku (ali), maka rahmatilah Muhammad dan keluarga (al) Muhammad.” Dan Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Agung berfirman, Sesungguhnya Allah berkehendak untuk membersihkan kalian dari setiap jenis dosa,

Wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya (kalimat terakhir dari Surah al-Ahzab ayat 33).”42
Demikian pula hal ini diriwayatkan dalam kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW mengumpulkan Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain di bawah jubah luarnya, ia bersabda,
‘Ya Allah! Sesungguhnya mereka berasal dariku dan aku dari mereka. Maka tempatkanlah rahmat-Mu, kasih-Mu, dan keridhaan­Mu kepadaku dan mereka.’
Dan,
“Ya Allah! Inilah keluarga (ali) Muhammad. Maka tempatkanlah rahmat-Mu dan nikmat-Mu kepada keluarga Muhammad, karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Terpuji lagi Mah Agung!”43

Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila seseorang berdoa namun di dalam doanya ia tidak menyampaikan shalawat kepadaku dan keluargaku, niscaya doanva tidak akan diterima.”44

Sesungguhnya, menyampaikan shalawat pada keluarga Nabi sangatlah penting sehingga ia telah dimasukkan dalam setiap shalawat pada Nabi SAW. Menyampaikan shalawat kepada keluarga Nabi merupakan sebuah tanda janji kesetiaan kepada mereka, dan membenarkan apa yang telah Allah SWT sendiri benarkan bagi mereka. Mereka sesungguhnya disucikan secara sempurna dan pantas menerima penghormatan.