Quran dan Para Imam
Maksum
Di
sini, kami akan sedikit perlihatkan sejumlah ayat Quran yang terkait dengan
para imam yang hak dan maksum.
Sesungguhnya
Allah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian, Ahlulbait, dan
menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya. (QS.
al-Ahzab : 33)
Katakanlah,
“Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah pun atas seruanku melainkan kecintaan
kepada keltaargaku. “ Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, akan Kami
tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
asy-Syura : 23)
Siapa
yang membantahmu tentang kisalt Isa sesudah datang ilmu (yang telah diberikan kepada
kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan
anak-anak kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, diri
kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dari kita
minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali Imran : 61)
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai!
(QS. Ali Imran : 103)
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar.
(QS.
at-Taubah : 119)
Sesungguhnya
inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalan-Nya. (QS. al-An’am : 153)
Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul darv orang-orang
yang diberi otoritas tinggi (ulil amri) di antara kalian. (QS. an-Nisa : 59)
Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kumi biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam
jahanam dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. an-Nisa : 115)
(Wahai
Nabi) Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemheri peringatan; dan bagi
tiap-tiap kaum ada seorang pemberi petunjuk. (QS. al-Ra’d : 7)
Bimbinglah kami di
jalan yang lurus. Jalan orang – orang yang Engkau telah engkau berikan rahmat…
( Qs al-fatihan : 6-7)
Orang-orang yang
dianugrahi oleh Allah yakni para nabi, para Shuada, Para Syahif dan orang –
orang yang sholeh. (Qs an-Nisa : 69)
Mereka (yakni para
nabi dan Imam) tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka berbuat (dalam
segala sesuatu) karena perintah-Nya. Dia (Allah) mengetahui apa yanga da di
hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka dan mereka orang - orang
suci itu) itu tidaklah memberi syafaat kecuali pada orang yang Allah Ridhai,
dan mereka itu takut dan hormat kepada (keagungan)-Nya. (Qs. Al-Anbiya : 27 :
28 )
Sesungguhnya wali
kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang – orange yang beriman, yang
mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, seraya mereka itu rukuk dalam shalat (
Qs al-Maidah : 55 )
Dan sesungguhnya aku
maha pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal yang mendirikan
sholat, dan menunaikan zakat, seraya mereka saleh, dan kemudian mengikuti petunjuk.
( Qs Thaha : 82 )
Wahai orang – orang
yang beriman, masukilah kedamaian secara beriman, beramal saleh, dan kemudian
mengikuti petunjuk. ( Qs al-Baqarah : 208 )
Kemudian kamu pasti
akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan. ( Qs at-Takatsur : 8 )
Wahai (engkau) rasul,
sampaikanlah apa yang tidak di turunkan kepadamu oleh Tuhanmu, apabila engkau
tidak berbuat demikian artinya engkau tidak berbuat demikian, artinya engkau
belum menyampaikan risalah-Nya sama sekali. Dan Allah akan menjagamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang –
orang yanga kafir. ( Qs. Al-Maisah : 67 )
Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
(QS. al-Maidah : 67)
Pada
hari ini telah Kusempumakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku
dan telah Kuridhai Islam itra jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah : 3)
Seorang
penanya telah bertanya tentang kedatangan azab tak terelakkan kepada
orang-orang kafir, yang tidak seorang pun bisa menolaknya. (QS. al-Ma’arij : 1-2)
Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka, dan mengambil kesaksian mereka terhadap jiwa mereka. (Dia bertanya), “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Benar, kami menyaksikan. “ (QS. al-A’raf : 172)
Ataukah
mereka dengki kepada orang-orang itu karena karunia yang Allah telah limpahkan
kepada mereka? (QS. an-Nisa : 54)
Tidak seorang pun
menyentuh (kedalaman makna al-Quran) kecuali hamba – hamba yang disucikan. (Qs.
Al-Waqi’ah : 79)
Tidak seorang pun yang
mengetahui takwilnya melainkan Allag dan orang – orang yang disucikan ( Qs. Ali
Imran : 7)
Bertanyalah
kepada ahli zikir (orang-orang yang berilmu) jika kalian tidak mengetahui! (QS. al-Anbiya : 7; al-Nahl : 43)
Ganjaran
Mencintai Ahlulbait
Kami menemukan hadis
menakjubkan berikut dalam salah satu kitab Tafsir al-Kabir karya Fakhrurrazi,
seorang ulama Sunni terkemuka dengan berbagai kepakaran yang dimilikinya
seperti tafsir, fikih, dan teologi. Hadis ini pun dapat dijumpai dalam karya
tafsir Quran Sunni lainnya, Tafsir alKasysyaf susunan Zamakhsyari juga Tafsir
ats-Tsa’labi.
Sebelum masuk ke teks
tersebut lebih jauh, penting kiranya untuk menunjikan bahwa suatu cinta sejati senantiasa disertai
dengan ketaatan.
Seseorang
yang tergila-gila pada orang lain, mengerjakan segala sesuatu untuk memuaskan
sang kekasih, dan tidak membiarkan dirinya sendiri membangkang terhadap orang
yang ia cintai. Itulah sebabnya’cinta hakiki’ adalah wajib dan mencukupi. Suatu
cinta sejati mempengaruhi setiap perbuatan manusia dan mengarahkannya pada
tujuan tertentu selaras dengan orang yang ia cintai. Jadi siapa saja yang
mengklaim mencintai Nabi dan Ahlulbaitnya namun tetap mendurhakai mereka,
sesungguhnya ia seorang pendusta.
Setelah
menyampaikan teks hadis kami akan kutip ayat Quran yang terkait. Kami juga akan
menyajikan sejumlah hadis lain yang diriwayatkan oleh golongan Sunni yang
nyata-nyata menyebutkan nama orang-orang yang kecintaan terhadap mereka adalah
wajib.
Rasulullah
SAW bersabda,
“Barangsiapa
yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia seorang syahid.”
Barangsiapa
yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia diampuni (dosanya).
Barangsiapa
yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati dalam keadaan bertobat.
Sesungguhnya
ia yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia mati sebagai
seorang mukmin dengan keimanan yang sempurna.
Barangsiapa
yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, malaikat maut
menyampaikan kepadanya berita gembira tentang surga, dan demikian juga dua
malaikat yang akan bertanya kepadanya (Munkar dan Nakir).
Dan
sesungguhnya barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad,
akan diarak ke surga laksana mempelai perempuan yang dibawa ke rumah suaminya.
Ingatlah,
barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad,
baginya akan ada dua pintu surga dalam kuburnya menuju surga.
Sesungguhnya
barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, Allah akan
menjadikan kuburnya sebagai tempat suci yang dikunjungi para malaikat pemurah.
Dan
sesungguhnya ia yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia mati
di atas Sunnah.
Jangan
ragu, barangsiapa yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, akan
sampai di hari pengadilan sementara di dahinya tertera ia berputus asa dari
rahmat Allah.
Ingatlah,
barangsiapa yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, ia matinya
dalam keadaan kafir.
Barangsiapa
yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, tidak akan pernah menciup
wanginya surga.24
Fakhrurrazi
dan yang lainnya menyatakan bahwa hadis di atas merupakan tafsir ayat Quran
berikut dimana Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
(Wahai
Nabi) Katakanlah (kepada manusia), “Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah
apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada keluargaku!”
Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akltn Kami tambahkan baginya kebaikan pada
kebaikannya itu (sebagai balasan atas itu). (QS.
asy-Syura : 23)
Hal
ini telah diriwayatkan secara luas oleh para mufasir Sunni. Misalnya, Ibnu
Abbas meriwayatkan,
“Ketika
ayat di atas (asy-Syura: 23) diturunkan, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
siapakah kerabat dekat yang kepadanya Allah mewajibkan kita untuk mencintai
mereka?” Nabi SAW menjawab, ‘Ali, Fathimah, dan kedua putra mereka (Hasan dan
Husain).” Beliau mengulang-ulang jawaban tersebut sebanyak tiga kali.25
Kemudian
Nabi SAW melanjutkan, “Sesungguhnya Allah telah menyerahkan upahku (dari keNabian)
untuk mencintai Ahlulbaitku, dan aku
akan mempertanyakan kepada kalian tentang hal itu pada hari pengadilan.26
Dalam
hadis lain, kita baca Rasulullah SAW bersabda, “Aku nasehati kalian agar
bersikap baik kepada Ahlulbaitku karena sesungguhnya aku akan mempersoalkan
kalian tentang mereka pada hari pengadilan, dan barangsiapa yang aku berselisih
dengannya, ia akan masuk neraka.”
Beliau
juga bersabda, “Barangsiapa yang menghormatiku dengan menghormati Ahlulbaitku,
ia telah mengambil perjanjian dari Allah (untuk memasuki surga).”27
Selain
itu, Khatib dan Ibnu Hajar meriwayatkan berdasarkan otoritas Anas bin Malik
yang berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Julukan buku (shahifah) orang beriman adalah kecintaan kepada Ali bin Abi
Thalib.”28
Dalam
hadis di atas,’Kitab Orang Beriman’ merujuk pada cara seorang beriman menyikapi
masalah-masalah, yakni kehidupannya sehari-hari dan catatan hariannya.
Berdasarkan
tafsir Quran ayat Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Yang Maha Pemurah akan menanamkan
dalam (hati) mereka rasa cinta (QS.
Maryam : 96), Hafizh Salafi menulis, “Muhammad bin Hanafiyah berkata, ‘Bukanlah
seorang mukmin kecuali dalam hatinya ada perasaan cinta pada Ali dan
keluarganya.”‘ Dalam hal ini, Baihaqi, Abu Syaikh, dan Dailami melaporkan bahwa
Rasulullah SAW berkata, “Seorang hamba Allah bukanlah seorang mukmin (hakiki)
kecuali jika ia lebih mencintaiku daripada jiwanya sendiri serta mencintai
keturunanku lebih daripada jiwanya dan keluarganya sendiri.”29
Tirmidzi
dan Ahmad meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesiapa yang mencintaiku dan
mencintai kedua anak ini (Hasan dan Husain), dan mencintai ayah-ibu mereka,
maka ia akan bersamaku kelak di surga.”30
Diriwayatkan
juga bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang beruntung, hanya
orang-orang yang beruntung, dan yang beruntung sejati adalah ia yang mencintai
Ali dalam masa hidupnya di dunia dan di akhirat.”3’
Para
ulama Sunni juga meriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali as menyampaikan sebuah
wacana pada kesyahidan Imam Ali;
“Akulah
anggota Ahlulbait yang Allah telah mewajibkan kecintaan
kepada mereka menjadi wajib bagi setiap Muslim ketika Dia
menurunkan kepada Nabi-Nya SAW, (Wahai Nabi) katakanlah (kepada manusia), “Aku tidak meminta kepada kalian
suatu upah apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada
keluargakra. Dan bararrgsiapa meugerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya
kebaikan pada kebaikannya itu (sebaqai balasan atas itu)!” (QS. asySyura : 23). Dengan demikian, carilah amal saleh
melalui kecintaan kepada kami, Ahlulbait!32
Lebih
lanjut, diceritakan bahwa Ibnu Abbas berkata,
“Amal
saleh dalam ayat Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akan Kami tambahKern baginya kebaikan
pada kebaikannya itu (sebagai balasan atas itu). (QS.
asy-Syura: 23), adalah kecintaan kepada keluarga (al) Muhammad SAW.33
Para
ahli hadis Sunni juga menuturkan bahwa selepas kesyahidan Imam Husain ketika
keluarganya dijadikan tawanan dan dibawa ke Damaskus, seorang lelaki di kota
(yang bersama orang lain melihat rombongan tawanan di kota itu) berkata kepada
Zainal Abidin bin Husain, “Segala puji bagi Allah yang menghancurkan dan
menjadikan kalian tidak berdaya, dan memotong akar pemberontakan.” Saat itu
juga Zainal Abidin berkata, “Tidakkah engkau membaca ayat Katakanlah (kepada manusia), “Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah
apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada keluargaku?” Lelaki itu bertanya, `Apakah kalian yang dimaksud itu?”
Beliau menjawab, “Ya, benar.”34
Berlawanan
dengan semua hadis yang disebutkan di atas, Yusuf Ali mempunyai suatu tafsiran
yang sangat ganjil untuk Surah asy-Syura ayat 23. Ia menulis,
“Tidak
ada bentuk ganjaran nyata yang Nabi Allah minta karena menyampaikan kabar
gembira dari Allah. Namun setidaknya ia mempunyai hak untuk meminta kerabat dan
sanak saudaranya agar jangan menganiayanya dan meletakkan segala jenis
rintangan di jalannya, sebagaimana yang suku Quraisy lakukan terhadap Nabi
suci.”
Implikasi dari ulasan
Yusuf Ali itu adalah, bahwa melalui ayat di atas, Nabi tengah meminta
kerabatnya untuk tidak menganiayanya dan mereka semestinya mencintai
kerabatnya, yakni Nabi. Nyatanya, hadis-hadis Nabi yang disebutkan di atas
sekaitan dengan turunnya Surah asy-Syura ayat 23, bertolak belakang
dengan ulasan Yusuf Ali. Kami heran, apakah kita harus mengambil pendapat Nabi
ataukah pendapat Yusuf Ali? Menarik untuk dicatat bahwa hadis-hadis yang
dicantumkan di atas diriwayatkan oleh para ahli hadis Sunni tersohor melalui
sejumlah perawi. Yusuf Ali bukanlah seorang ahli hadis dan kaum Sunni pun tidak
menganggap karya tafsirnya sebagai karya tafsir yang otoritatif.
Selain itu kita bisa
membuktikan secara logis bahwa tafsir Yusuf Ali tidaklah benar. ‘Keluarga dekat
itu’ adalah keluarga Nabi sendiri. Karena Nabi Muhammad hanyalah satu orang.
Apabila Allah SWT hendak berkata, “Cintailah Nabi karena ia adalah keluargamu!”
Dia bisa saja berkata demikian, dan Dia tidak akan menggunakan’keluarga dekat’.
Lagi pula, dari ayat itu jelaslah Allah SWT tidak berbicara kepada non-Muslim,
karena ayat itu berbicara seputar upahnya sebagai balasan atas dakwah keNabiannya.
Jadi, orang-orang kafir tersebut (di antara keluarganya ataupun yang lainnya)
yang tidak mengenalinya sebagai seorang Nabi, bukan sasaran pembicaraan. Upah
jenis apakah yang bisa Nabi harapkan dari seorang kafir (di antara keluarganya
atau yang lainnya) yang tidak mengenalinya sebagai seorang Nabi?
Demikianlah, mereka
itu adalah kaum Muslim yang dituju oleh ayat tersebut. Kini jika memang Yusuf
Ali memaksudkan bahwa ayat itu dialamatkan kepada orang-orang Muslim yang
notaben adalah keluarganya, maka kami ingin bertanya, “Siapakah keluarga dekat Nabi
yang seorang Muslim namun mencoba menganiaya Nabi?” Jawabannya, tidak ada sama
sekali. Jika anda berpikir sebaliknya, silakan ajikan bukti anda dari sejarah
kehidupan Nabi SAW.
Oleh sebab itu, tafsir
Yusuf Ali tidaklah selaras dengan hadis-hadis Sunni yang disebutkan di atas
dalam hal ini, tidak pula selaras dengan logika.
Kami tidak bermaksud
mendiskusikan semua kesalahan yang terdapat dalam karya-karya Yusuf Ali.
Kendati demikian, adalah berguna untuk menyebutkan terjemahannya atas sebuah
ayat Quran sekaitan dengan topik barusan, kemudian membandingkannya dengan
terjemahan lainnya. Ayat ini sangat serupa dengan ayat Quran yang disebutkan di
Was (QS. asy-Syura : 23). Dalam Surah Saba ayat 47 dikatakan (Wahai Nabi)
Katakanlah (kepada manusia), “Apapun yang aku minta kepadamu sebagai upah sebagai
balasan atas keNabianku) adalah untuk (kepentingan)mu (manusia).”
Berikut ini terjemahan
dari Pickthall, Katakanlah, “Apapun upah yang aku terima kepadamu adalah
untukmu.”
Sekarang, mari kita
lihat terjemahan Yusuf Ali! Katakanlah, “Tidak ada suatu upah pun yang aku
minta dari kalian. Ini (semua) dalam kepentingan kalian.”
Siapapun bisa melihat
bahwa terjemahan Yusuf Ali mengajikan pengertian yang sangat berlawanan
dengan yang lain. Dalam terjemahan ayat di atas, Yusuf Ali menyatakan bahwa Nabi
tidak meminta upah apapun. Karena itu, Yusuf Ali menentang terjemahannya
sendiri dalam ayat lain yang disebutkan sebelumnya (QS. asy-Syura : 23) di mana
ia menyatakan bahwa Nabi benar-benar meminta upah itu. Yusuf Ali : Katakaralah,
“Tiada suatu rapah pun yang aku minta kepadamu untuk ini kecuali kecintaan
kepada keluarga dekat.” (QS. asy-Syura : 23)
Tak pelak lagi bahwa
pahala atau upah Nabi berada di sisi Allah SWT. Akan tetapi, dengan perintah
Allah SWT di atas, Nabi benar-benar meminta manusia untuk mencintai keluarganya
sebagai upahnya. Permintaan mrscbut sesungguhnya demi keuntungan manusia
sendiri sebagaimana trrungkap pada surah Saba ayat 47. Ayat-ayat Quran
sesungguhnya, saling menjelaskan satu sama lain. Yang lebih mengherankan, ada
ayat ketiga dengan lafaz lain yang mengimplikasikan bahwa manfaat atau keuntungan
yang manusia peroleh dengan memenuhi permintaan
Nabi (yakni kecintaan dan ketaatan kepada Ahlulbait) adalah bahwa mereka akan
dibimbing menuju jalan (sabil) Allah.
Katakanlah,
“Aku tidak meminta kepada kalian sedikitpun upah dalam menyampaikan risalah
itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan
(sabil) kepada jalannya.” (QS.
al-Furqan : 57)
Terjemahan
Pickthall: Katakanlah, “Aku tidak meminta kepada kalian sedikitpun atas hal ini
kecuali orang – orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya (Qs al-Furqan :
57 )
Letakkanlah
surah ini di samping asy-Syma:23
dan Saba:47 memberikan bukti pada fakta bahwa setiap
anggota Ahlulbait adalah jalan lurus (sabil)
kepada Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Jalan
lurus Allah SWT tidak lebih dari satu, sekalipun ia termanifestasi dalam suatu
rangkaian para imam yang ditunjuk Tuhan. Karena itu, setiap pemimpin atau imam
ini adalah jalan unik Allah SWT di zaman mereka masing-masing, dan melalui
mereka manusia bisa beroleh perlindungan terhadap perselisihan-perselisihan
dalam masalah-masalah agama. Sesungguhnya, Rastrlullah SAW membenarkan
kesimpulan di atas dari ayat yang terakhir.
Ibnu
Sa’d dan Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Aku
dan Ahlulbaitku adalah pohon di surga yang cabang-cabangnya menjulur ke dunia
ini. Jadi barang siapa yang menghendaki, ambillah jalan
menuju Tuhannya (mengambil cabang dan mencapai batang di surga)!”34
Bagian
yang dicetak miring di atas dalam hadis N~bi SAW merupakan ayat Quran yang
disebutkan di atas (QS. al-Furqan : 57). Cinta sejati kepada Ahlulbait
sesungguhnya akan mewajibkan mengikuti jalan lurus mereka yang menjamin
kesejahteraan manusia di dunia ini juga surga di akhirat kelak.
Bagaimana Cara Bershalawat
kepada Nabi Muhammad?
Ketika
bershalawat kepada Nabi Muhammad, sebagian mengucapkan,
“Allahumma
shalli ala Muhammad (SAW),” sebagian
lagi mengucapkan, “Allahumma
shalli ala Muhammad wa ali Muhammad,” sebagian
lagi yang lebih pemurah mengucapkan,
“Allahumma shalli ala Muhammad wa alihi wa azwajihi wa
shahbihi ajma’in.”
Kini
mari kita lihat bagaimana Nabi sendiri mengajari kita cara bersalawat
kepadanya!
Rasulullah
SAW berkata, “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan buntung!” Para
sahabat bertanya, “Apakah shalawat buntung itu?” Nabi SAW menjawab, “Yakni mengucapkan
Allahumma shalli ala muhammad.” Mereka bertanya,’Apa yang harus kami ucapkan?” Nabi SAW
menjawab, “Ucapkanlah Allahumma shalli ala Muhammad wa ahlibaitihi.” Dalam
ucapan lain beliau menjawab, “Ucapkanlah Allahumma
shalli ala Muhammad wa ali Muhammad kama
shallaita ala Ibrahim ma ali Ibrahim. Innaka hamidun majid!”35
Perkataan
Nabi ini berhubungan dengan ayat Quran yang diturunkan berkaitan dengan
keluarga Ibrahim as:
Mereka
(para malaikat) berkata, “Apakah kamu nurasa heran tentang ketetapan Allah?
(Itu adalah) Rahnrat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu hai
Ahlulbait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS. Hud : 73)
Selain
itu, Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa sebagian mufasir Sunni telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat Quran yang berbunyi, “Kesejahterann dilimpahkan atas keluarga Yasin (QS. ash-Shaffat : 130),” mengacu pada keluarga
Muhammad.36
Dari
hadis yang dinukil sebelumnya, siapapun bisa melihat bahwa Rasulullah SAW
menyebutkan namanya dan Ahlulbaitnya secara berbarengan, dan membenci bila
hanya menyebutkan namanya saja. Secara khusus ia memerintahkan agar para
pengikutnya memasukkan kuluarganya dalam semua perkumpulan (majelis) mereka
dengan Nabi Muhammad. Hal ini karena hanya orang-orang itu yang Quran membenarkan
kesucian kesempurnaan mereka (kalimat terakhir dalam Surah al-Ahzab ayat 33) yang
pantas menerima shalawat. Mari kita lihat lebih banyak lagi hadis. Kali ini
dari Shahih Bukhari.
Diriwayatkan
dari Abu Said Khudri:
Kami
bertanya, “Wahai Rasulullah, (kami tahu) shalawat ini (kepadamu) tapi bagaimana
cara kami memohon kepada Allah untukmu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah Ya Allah, sampaikanlah shalawat-Mu kepada Muhammad,
hamba-Mu dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau sarnpaikan shalnzuat-Mu kepada keluarga
Ibrahim. Dan sampaikanlah berkah-Mu kepada Muharrunad dan keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau sampaikan berkah-Mu kepada keluarga Ibrahim!”37
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hazim dan Darawardi:
Yazid
melaporkan (hal yang sama dengan kata-kata berikut), “... dan sampaikan berkah-Mu kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Engkau sampaiakn berkah-Mu kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim.”38
Diriwayatkan
oleh Abdurrahman bin Abi Laila:
Ka’b
bin Ujrah bersua denganku dan berkata, “Maukah engkau aku beri hadiah? Suatu
ketika Nabi SAW datang kepada kami dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami
tahu bagaimana cara memberi salam kepadamu, tapi bagaimana cara menyampaikan
shalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Ya Allah, sampaikan
shalawat-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau kirimkan
shalawat-Mu kepada keluarga Ibrahim. Ya Allah! Sampaikan berkah-Mu kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau kirim berkah-Mu kepada
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia!’40
Abu
Mas’ud Badri meriwayatkan,
“(Suatu
saat) kami tengah duduk – duduk bersama Sa’d bin Ubadah
ketika Nabi SAW datang kepada kami.
Basyir bin Sa d bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, kami telah
diperintahkan oleh Allah untuk
menyampaikan rahmat kepadamu dengan mengucapkan shalawat, lantas bagaimana cara
kami melakukan hal ini?” Nabi SAW terdiam beberapa saat, sehingga kami berharap
bahwa Basyar bin Sa’d tidak menanyakan lagi kepada Nabi SAW. Setelah beberapa
saat Nabi SAW mengatakan hal ini, “Ya Allah, sampaikanlah shalawat-Mu kepada
Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagairnana Engkau sampaikan shalawatMu
kepada Ibrahim dan berkatilah Muhammad dan keturunan Muhammad sebagaimana
Engkau berkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha
Mulia.” Selanjutnya, Nabi SAW berkata, “Apapun salam telah engkau ketahui.”41
Meskipun
hadis-hadis di atas membenarkan bahwa Nabi SAW memerintahkan manusia untuk
menyampaikan shalawat kepadanya dan keluarganya, hal ini tidak bisa dianggap
sebagai pengagungan diri. Sebaliknya ia merupakan perintah dari Allah SWT untuk
melakukannya. Ia berperansebagaipengajaranSunnahkepadamanusia. Hadis terakhir malah
memperlihatkan bahwa Nabi tengah menunda untuk menyampaikan shalawat kepada
dirinya sendiri pertama kali, tetapi karena ia perintah Allah SWT, ia
menyampaikan pesan tersebut.
Hadis
lain,
ketika
Rasulullah SAW sedang memperhatikan turunnya sebuah rahmat Allah, beliau
berkata kepada Shafiyyah (salah seorang istri beliau), “Panggilkanlah untukku!
Panggilkanlah untukku!” Shafiyyah berkata, “Panggil siapa, wahai Rasulullah?”
Beliau berkata, “Panggillah untukku, Ahlulbaitku yakni Ali, Fathimah, Hasan,
dan Husain!” Lalu kami memanggil mereka dan mereka pun datang menemuinya.
Lantas Nabi SAW membentangkan jubah luarnya kepada mereka, dan mengangkat kedua
tangannya (menghadap langit) seraya berdoa,’Ya Allah! Inilah keluargaku (ali), maka
rahmatilah Muhammad dan keluarga (al) Muhammad.” Dan Allah Yang Maha Kuasa dan
Maha Agung berfirman, Sesungguhnya
Allah berkehendak untuk membersihkan kalian dari setiap jenis dosa,
Wahai
Ahlulbait, dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya (kalimat terakhir dari Surah al-Ahzab ayat
33).”42
Demikian
pula hal ini diriwayatkan dalam kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW
mengumpulkan Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain di bawah jubah luarnya, ia
bersabda,
‘Ya
Allah! Sesungguhnya mereka berasal dariku dan aku dari mereka. Maka
tempatkanlah rahmat-Mu, kasih-Mu, dan keridhaanMu kepadaku dan mereka.’
Dan,
“Ya
Allah! Inilah keluarga (ali) Muhammad. Maka tempatkanlah rahmat-Mu dan
nikmat-Mu kepada keluarga Muhammad, karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Terpuji lagi Mah Agung!”43
Juga
diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila
seseorang berdoa namun di dalam doanya ia tidak menyampaikan shalawat kepadaku
dan keluargaku, niscaya doanva tidak akan diterima.”44
Sesungguhnya,
menyampaikan shalawat pada keluarga Nabi sangatlah penting sehingga ia telah
dimasukkan dalam setiap shalawat pada Nabi SAW. Menyampaikan shalawat kepada
keluarga Nabi merupakan sebuah tanda janji kesetiaan kepada mereka, dan
membenarkan apa yang telah Allah SWT sendiri benarkan bagi mereka. Mereka
sesungguhnya disucikan secara sempurna dan pantas menerima penghormatan.