Apakah Para Imam Mendapafkan Ilham?
Tidak ada keraguan ketika ayat ini turun, Hari ini telah aku sempurnakan agamamu dan telah
aku cukupkan karuniaku kepada kalian, dan aku ridhai Islam menjadi agamamu” (
QS. al-Maidah : 3 ), agama telah sempurna. Allah SWT menurunkan Quran juga
syariat hanya kepada Nabi Muhammad SAW, dan tidak ada wahyu seperti itu yang
diturunkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila Imam Ali diberi ilham, hal
itu tidak ada sangkut pautnya dengan firman Allah SWT: Ilham yang diberikan kepadanya
merupakan hal yang telah dan akan terjadi.
Allah SWT memiliki banyak cara untuk
memberi tahu sesuatu kepada hamba-hamba-Nya. Salah satunya adalah dengan wahyu (wahy). Cara lain adalah dengan
membisiki (memberi ilham). Dengan cara memberi ilham ini, Allah memasukkan ilmu
pengetahuan ke dalam hati hamba-Nya. Hal ini diyakini oleh semua mazhab Islam.
Tetapi apakah anda berpikir bahwa wahyu
hanya diperuntukkan bagi Nabi dan Rasul? Apabila demikian anda telah
bertentangan dengan Quran karena ibunda Nabi Musa as bukanlah seorang Nabi
ataupun Rasul. Bukankah demikian? Allah SWT mewahyukan untuk meletakkan
putranya pada sebuah keranjang di sungai ~agar tentara-tentara Fir’aun
membawanya ke istana.
Dan Kami memberi wahyu
kepada ibunda Musa. Susuilah (bayi itu) tetapi apabila engkau telah merasa
takut, lemparkanlah ia ke sungai dan janganlah engkau takut bahwa engkau akan
berduka cita karena Kami akan menjaganya untukmu dan Kami akan mengangkatnya
menjadi salah satu utusan Kami (QS. al-Qashash : 7).
Perhatikanlah bahwa secara langsung Quran
menggunakan kata “wahy” (wahyu). Di sini, Yusuf Ali telah menerjemahkan kata’wahy
dengan artian ilham. Tetapi Quran
menggunakan kata ‘wahy’ (wahyu), dan bukan bisikan (ilham). Wahyu dan ilham
merupakan dua hal yang berbeda.
Bagaimanapun, satu hal yang jelas adalah
bahwa wahyu yang diturunkan kepada selain Nabi atau Rasul tidak memiliki
sangkut paut dengan syariat. Wahyu tersebut tidak berkaitan dengan ajaran agama
dan lain-lain. Wahyu tersebut lebih merupakan perintah untuk memilih ketika
sedang dalam kebingungan dan atau memberitahukan apa yang telah dan akan
terjadi.
Kita dapat menyimpulkan bahwa wahyu
memiliki berbagai jenis. Hanya wahyu yang diberikan kepada Nabi dan Rasul saja
yang berhubungan dengan ajaran agama dan praktik-praktiknya yang baru,
sedangkan wahyu lainnya tidak.
Catatan: Quran juga menggunakan kata wahy
kepada selain manusia, tetapi hal itu bukan pembahasan kami. Dalam buku ini
kami menitikberatkan pada jenis wahyu lain untuk manusia saja.
Apakah Para Imam bertemu dengan Malaikat?
Menurut Quran, berkomunikasi dengan
malaikat bukan sesuatu yang khusus bagi para Nabi dan Rasul. Allah SWT
menyebutkan dalam Quran bahwa Maryam (ibunda Nabi Isa) berkomunikasi dengan
malaikat, dan malaikat berbicara dengan Nabi Isa. Lihatlah Quran mengenai
percakapan ibunda Maryam dan para malaikat!
Ingatlah ketika para
malaikat berkata, “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah menggembirakan kamu
dengan Kalimat daripada-Nya, namanya al-Masih Isa putra Maryam, seorang
terkemuka di dunia ini dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan
(kepada Allah). “(QS. Ali Imran : 45)
Ada sebuah percakapan yang lengkap antara
Maryam dan malaikat. Lihatlah beberapa ayat sebelum dan sesudahnya dari ayat di
atas! Maryam as bukanlah seorang Nabi atau Rasul, tetapi ia berkomunikasi
dengan malaikat. Namun demikian, komunikasi antara Maryam dengan malaikat tidak
berkaitan dengan syariat. Percakapannya tidak ada sangkut paut dengan praktik agama. Tetapi lebih berupa berita
tentang apa yang akan terjadi, dan perintah yang harus dilakukan.
Surah yang berhubungan
dengan ayat ini adalah Hud ayat 69-73 di mana malaikat berkomunikasi dengan
istri Nabi Ibrahim dan membawakannya berita gembira bahwa ia akan mengandung Nabi
Ishak as.
Bahkan kaum Suruai
menyatakan bahwa Imran bin Husain Khuza’i (52/672) yang merupakan salah satu
sahabat Nabi Muhammad SAW, dikunjungi oleh malaikat, menyapa mereka, berjabatan
tangan dan memandang mereka. Ia hanya ditinggalkan oleh mereka sesaat setelah
para malaikat kembali hingga wafatnya.’16
Tidak ada keraguan
bahwa Imam Ali adalah muhaddats yang artinya ‘seseorang yang telah
diajak bicara’. Tidak hanya Imam Ali, tetapi semua Imam dua belas, demikian
juga dengan Sayidah Fathimah.
Berdasarkan hadis Sunni
yang sahih, diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Aisyah bahwa Nabi Muhammad
bersabda,
“Di antara umat sebelum
kamu terdapat orang-orang yang menjadi muhaddatsun (orang yang dapat
mengetahui sesuatu akan terjadi dengan benar, seperti orang-orang yang telah
diberi ilham oleh kekuatan ilahi), dan apabila ada orang-orang seperti itu di
antara pengikutku, mereka adalah...”17
Dalam Shahih
Bukhari, diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Di
antara bangsa-bangsa sebelumnya ada orang-orang yang sering diberi ilham
(meskipun mereka bukanlah para Nabi). Dan apabila terdapat orang-orang seperti
itu, di antara pengikutku, mereka adalah...”18
Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, “Di antara bangsa Israil yang hidup sebelum
kalian, ada orang-orang yang sering mendapat ilham melalui petunjuk meskipun
mereka bukan para Nabi, dan apabila terdapat orang-orang seperti itu, di antara
pengikutku, mereka adalah...”
Selain itu
diriwayatkan, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya di antara bangsa-bangsa
yang hidup sebelum kalian terdapat orang-orang muhaddatsun dan apabila
ada salah seorang di antara pengikutku, ia adalah...”
Nabi Muhammad juga
bersabda, “Sesungguhnya diantara Bani Israil sebelum kalian terdapat
orang-orang yang diajak berbicara (rijalun yukallamun) dan mereka bukan Rasul
dan apabila ada salah satu di antara umatku, ia adalah...”19
Kesimpulannya adalah
bahwa eksistensi muhaddatsun (orang-orang yang diajak berkomunikasi)
merupakan suatu hal yang dibenarkan oleh semua umat Islam dan bahwa hal ini bukan
sesuatu yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Catatan kaum Sunni di atas
juga membenarkan bahwa muhaddatsun bukanlah para Nabi dan mereka tidak
membawa syariat (aturan ilahi) dari Allah SWT kepada umat.
Berikut ini definisi Nabi,
Rasul, dan imam. Nabi adalah orang yang menerima syariat. Syariat di sini
berkaitan dengan keyakinan (aqaid) atau dengan aktivitas praktis (ibadah).
Syariat meliputi urusan kehidupan Nabi dan juga umatnya, atau keduanya. Ini
adalah definisi dasar dari Nabi, meskipun Nabi juga mungkin diberitahu hal
lain. Turunnya syariat ini dapat langsung atau melalui perantara seperti
malaikat.
Rasul adalah Nabi yang
menerima syariat yang berkaitan dengan dirinya dan orang lain selain dirinya.
Sedangkan imam adalah orang yang ditunjuk oleh Allah SWT sebagai pemimpin dan
sebagai penunjuk (QS. al-Anbiya : 73) yang kepadanya ketaatan harus kita
berikan dan orang-orang harus mengikutinya. Rasul adalah pembawa peringatan dan
imam adalah penunjuk jalan (QS. al-Ra’d : 7) atau cahaya petunjuk (QS.
al-Maidah : 97).
Menarik untuk
diperhatikan bahwa ketika ayat tentang sempurnanya agama Islam diturunkan,
banyak ulama tafsir Sunni membenarkan bahwa ayat Hari ini telah aku sempumakan
agamamu dan telah aku cukupkan karuniaku kepada kalian, dan aku ridhoi Islam
menjadi agamamu (QS. al-Maidah: 3), turun di Ghadir Khum ketika Nabi
Muhammad mengumumkan siapa penerus dirinya.20 Ayat di atas dengan
jelas menunjukkan bahwa agama Islam tidak akan sempurna jika tidak ada
pernyataan tentang kepemimpinan Imam Ali, dan kesempurnaan agama ditentukan
oleh pernyataan Nabi tentang penerus setelahnya.
Perbedaan Antara Nabi
dan Rasul
Di dalam bahasa Arab
tidak ada kata terpisah untuk istilah Nabi dan Rasul. Perbedaan antara Nabi dan
Rasul adalah bahwa derajat keNabian lebih rendah dari derajat keRasulan.
Seorang Nabi adalah
orang yang menerima hukum syariat, yang dapat berisi mengenai keyakinan (‘aqaid), kehidupan Nabi itu
sendiri, umatnya, atau keduanya. Definisi ini merupakan definisi dasar dari keNabian,
meskipun Nabi juga diberitahu tentang hal lainnya. Turunnya hukum syariat dapat
secara langsung, atau melalui perantara seperti malaikat. Sedangkan Rasul
adalah Nabi yang menerima hukum ilahi yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan
orang-orang selain dirinya. Dengan demikian, setiap Rasul (manusia) adalah Nabi
tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Selain itu, setiap Nabi yang disebutkan
Quran bersama umatnya adalah Rasul.
Maka ketika Quran
menyatakan bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir (QS. al-Ahzab:40), dengan merujuk
pada definisi di atas, ia juga adalah Rasul terakhir. Perhatikanlah bahwa kata ‘manusia’
dalam definisi Rasul sangat penting karena Quran juga menggunakan istilah’Rasul’
untuk malaikat yang memberi perintah atas kehendak Allah SWT.
Allah memilih Rasul-Rasul
dari kelompok malaikat dan dari kelompok manusia, karena Allah Maha Mendengar
dan Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Hajj : 75)
Telah datang kepada Nabi
Ibrahim Rasul-Rasul kami dengan membawa berita gembira. Mereka berkata, “Selamat!”
Ibrahim menjawab, “Selamat. “ Segera ia membawa daging sapi panggang.
(QS. Hud : 69)
Ketika Rasul-rasul kami menemui Luth, ia merasa
bersedih karena mereka dan merasa tidak berdaya (untuk melindungi) mereka. Ia
berkata, “Ini adalah hari yang sukar.” (QS. Hud : 77)
(Malaikat itu) berkata,
“Wahai Luth, kami adalah utusan dari Tuhanmu...” (QS. Hud : 81)
Lihat juga al-A’raf:37,
al-Hijr:57 dan 61, Maryam:l9, al-Ankabut:31, 33.
Bagaimanapun, seorang Nabi
adalah manusia. Tidak ada malaikat yang dapat disebut Nabi. Dengan demikian
setiap Rasul adalah Nabi tetapi setiap Nabi seorang Rasul.
Jumlah Rasul lebih
sedikit dari jumlah Nabi dan setiap Rasul menerima sebuah kitab, tetapi hanya
beberapa Nabi yang menerima kitab. Selain itu, karena ia harus meyakinkan
umatnya untuk menerima agama baru dengan amalan-amalan yang baru, tugas seorang
Rasul lebih berat daripada tugas seorang Nabi. Inilah kenyataan utama bahwa
kebutuhan, pikiran dan kemampuan umat berubah, dan menerima sebuah agama baru
bukan suatu tugas yang mudah. Di sinilah, perintah-perintah agama baru seorang Nabi
adalah untuk dirinya sendiri (kecuali jika ia seorang Rasul). Tentunya seorang Nabi
mengajak umat menuju Allah SWT, tetapi ia tidak membuat amalan-amalan baru bagi
umat itu. Intinya, jika seorang Nabi bukan seorang Rasul, umat yang ia ajak
untuk memtju Allah SWT akan diperintah untuk mengikuti kebiasaan dan amalan Rasul
sebelumnya.
Di antara para Rasul,
ada lima orang yang lebih tinggi daripada Rasul lainnya. Sebagaimana yang
mungkin anda ketahui, perbedaan satu-satunya antara kelima orang Rasul ini dari
Rasul-Rasul lainnya adalah bahwa mereka ditunjuk secara menyeluruh (untuk
seluruh umat manusia pada zamannya), sedang Rasul-Rasul lainnya ditunjuk untuk
suatu daerah tertentu (hanya satu wilayah atau suatu tempat). Kata ‘alamin dan atau jami’an telah digunakan Quran
untuk Nabi Isa dalam mendukung gagasan ini.
Suatu kali seorang
Bahai menyatakan bahwa para Rasul (yang datang sebelum imam terakhir) hanyalah
lima Rasul yang memiliki kitab. Tetapi sisanya adalah para Nabi, Hal ini tidak
benar Karena Quran menyatakan bahwa Nabi
Daud memiliki kitab Zabur tetapi ia tidak termasuk kedalam lima rasul
besar. Ia adalah seorang rasul karena membawa kita bagi umatnya.
Imam atau Muhaddats
Imam artinya seorang manusia yang ditunjuk
Allah SWT sebagai pemimpin atau penunjuk jalan (lihat al-Anbiya:73 dan as-Sajdah:24) di mana semua orang harus
taat kepadanya dan mengikutinya. Para Rasul adalah pembawa peringatan dan para
imam adalah pemberi petunjuk (QS. al-Ra’d : 7). Para imam adalah cahaya
petunjuk (QS. al-An’am : 97).
Imam tidak menerima wahyu ilahi yang berisi
syariat (hukum ilahi). Ia tidak menerima perintah apapun yang berhubungan
dengan amalanamalan agama yang baru dan lain-lain. Tetapi, ia diberitahu
tentang peristiwa masa lalu dan masa yang akan datang.
Perbedaan lain antara Rasul, Nabi, dan imam
(muhaddats) adalah dalam cara
mereka berkomunikasi dengan malaikat. Perbedaan ini dijelaskan dalam Ushul al-Kafi, bab al-Hujjah ketika menerangkan Surah al-Hajj ayat 52.
Rasul melihat dan mendengar malaikat dalam
kondisi terjaga dan tertidur. Nabi mendengar dan melihat malaikat hanya ketika
ia dalam kondisi tertidur, namun ia tidak melihatnya dalam keadaan terjaga
meskipun dapat mendengar perkataannya. Imam (muhaddits) adalah orang yang mendengar malaikat dalam keadaan
terjaga tetapi ia tidak dapat melihatnya dalam keadaan terjaga atau tertidur.
Pada bagian sebelumnya kami mengutip ayat
Quran bahwa ibunda Maryam as berkomunikasi dengan malaikat. Apabila menurut
kitab Shahih Bukhari, Fathimah
as adalah penghulu perempuan di dunia ini dan di akhirat, lalu mengapa ia tidak
dapat berkomunikasi dengan malaikat?
Dalam Shahih
Bukhari hadis 4.819, diriwayatkan oleh Aisyah, Nabi Muhammad berkata
kepada Fathimah (yang menangis ketika ayahnya meninggal dunia), “‘Tidakkah kau
gembira bahwa engkau dan penghulu dari semua perempuan di surga dan
penghulu seluruh perempuan yang beriman?”
Selain itu, Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulullah
bersabda, “Empat perempuan penghulu alam semesta adalah, Maryam, Asiah (istri
Fir’aun), Khadijah, dan Fathimah. Dan perempuan paling utama di dunia adalah
Fathimah.”21
Bagi orang-orang yang meyakini Shahih Bukhari, kami akan mengutip kitab
ini sekali lagi yang menegaskan bahwa Sayidah Fathimah berkomunikasi dengan
malaikat Jibril.
Dalam Shahih
Bukhari hadis 5.739, diriwayatkan
oleh Anas,
“Ketika sakit Nabi semakin memburuk, ia
tidak sadarkan diri. Melihat keadaan itu Fathimah berkata, ‘Betapa menderitanya
ayahku!’ Ia berkata, Ayahmu tidak akan menderita setelah hari ini.’ Ketika Nabi
meninggal, Fathimah berkata, ‘Wahai Ayah! Yang telah menjawab seruan Tuhan yang
telah mengundangnya! Wahai Ayah, yang tempat tinggalnya adalah surga! Wahai
Ayah! Kami menyampaikan berita ini (kematianmu) kepada Jibril.’ Ketika Nabi
dikuburkan, Fathimah berkata, ‘Wahai Anas! Tegakah engkau melemparkan tanah
kepada Rasulullah?’
Tidak hanya itu saja, Kaum Sunni pun
meriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali berkata bahwa malaikat Jibril sering
mengunjungi Ahlulbait. Diriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali menyatakan ucapan
di bawah ini dalam sebuah khutbah yang ia sampaikan ketika Imam Ali wafat, ‘Aku
berasal dari keluarga Ahlulbait. Keluarga yang malaikat Jibril sering
mendatangi kami dan pergi ke surga setelah menemui kami.”22
Ketika Imam Hasan menggunakan istilah `kami’,
artinya bahwa bukan hanya Nabi Muhammad SAW saja yang sering didatangi malaikat
Jibril. Tentu saja malaikat Jibril tidak menyampaikan sesuatu dari Quran kepada
Imam Hasan. Tetapi hadis Sunni di atas menunjukkan bahwa mereka dapat
berkomunikasi dengan malaikat Jibril.
Beberapa Komentar
Seorang Wahabi
menyebutkan bahwa kaum Syi’ah yakin para imam mengetahui kapan mereka akan
meninggal, dan mereka tidak meninggal kecuali atas kehendak mereka.
Kami menjawab: Hal
inipun dianugerahkan kepada para Rasul. Oleh karena itu, kami tidak memahami
mengapa para imam tidak memilikinya. Berikut ini dua hadis di dalam Shahih Bukhari yang menegaskan
pernyataan itu bagi Nabi Musa.
Dalam Shahih Bukhari hadis 2.423 dan 4.619,
diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
“Malaikat maut diutus kepada
Nabi Musa dan ketika ia menemuinya, Nabi Musa menamparnya dengan sangat keras
sekali hingga salah satu matanya terlepas. Malaikat maut kembali kepada
Tuhannya dan berkata, ‘Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin
mati.’ Allah membetulkan kembali matanya dan berkata, ‘Kembalilah dan katakan
kepadanya (Musa) untuk meletakkan tangannya di punggung sapi, karena ia akan
hidup dalam beberapa ratus tahun sejumlah bulu sapi yang menempel di tangannya.’
Kemudian malaikat maut
menemuinya dan berkata hal yang sama kepadanya. Kemudian Musa bertanya, ‘Wahai
Tuhanku, apa yang akan terjadi kemudian?” Allah berkata, ‘Kematian akan
menjemputmu.’ Ia berkata, `Biarkanlah kematian menjemputku sekarang.’ Ia
meminta kepada-Nya agar dia dibawa untuk berada di dekat tanah Suci sejauh
lemparan sebuah batu. Rasulullah berkata, ‘Sekiranya aku berada di sana, aku
akan menunjukkan kepadamu pusara Musa yang dekat dengan lembah pasir berwarna
merah.”23
Menurut hadis di atas, Nabi
Musa menyatakan tidak ingin wafat, lalu Musa diberitahu oleh Allah SWT tentang
kapan ia akan wafat (dalam waktu sejumlah bulu). Kemudian Musa meminta kepada
Allah SWT untuk mengubah kematiannya menjadi saat itu juga.
Muatan ejekan di dalam
hadis di atas oleh Bukhari patut dipertanyakan bagi kami. Tetapi, karena anda
menganggapnya sebagai hadis sahih, maka anda harus sepakat bahwa para Rasul
tahu tentang kapan mereka akan wafat.
Mengapa para imam tidak mengetahuinya?
Di sini kami harus
menyebutkan bahwa menurut ajaran Islam, Allah SWT tidak memberikan
kekuasaan-Nya kepada para Nabi atau imam. Kekuasaan para Rasul dan imam tidak
tergantung kepada Allah SWT. Kekuasaan ini diberikan kepada mereka dari Allah SWT
dan juga dikendalikan oleh-Nya. Jika mereka tidak menaati Allah SWT, kekuasaan
itu akan segera diambil. Maka, jika Nabi Musa atau para Nabi dan imam wafat
atas kehendak mereka sendiri, kita harus ingat bahwa orang-orang suci itu tidak
menghendaki apa yang tidak Allah SWT kehendaki. Jadi keinginan mereka tentang
kapan mereka akan wafat benar-benar sesuai dengan apa yang Allah SWT kehendaki,
kerena mereka benar-benar taat kepada Allah SWT. Sebenarnya, apa yang kami
katakan di sini agak bertolak berlakang dengan riwayat Abu Hurairah di atas.
Tetapi karena anda meyakini Bukhari, anda berbicara lebih jauh dari pada
pernyataan yang ditulis di dalam al-Kafi. Dengan kata lain, hadis
Bukhari di atas menyatakan bahwa seorang Rasul dapat menolak atau mengubah
perintah Allah SWT bahkan menampar malaikat maut. (Semoga Allah melindungi kita
dari ucapanucapan keji seperti itu.)
Sang Wahabi berkata, “Dalam
hadis Syi’ah disebutkan bahwa seluruh muka bumi ini milik para imam.”
Kami menjawab, ‘Allah SWT,
pemilik Keagungan dan Kemuliaan berfirman, Dunia ini milik Allah.
Ia memberikannya sebagai warisan kepada orang-orang yang la kehendaki dan akhir
yang baik adalah bagi hamba-hamba yang beriman (QS. al-A’raf : 128).”
Sang Wahabi bertanya, “Tidak
ada yang menyangkal bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang
paling mengetahui para sahabat. Meskipun kita mengakui bahwa Imam Ali adalah
orang yang paling mengetahui, lalu bagaimana? Apakah artinya bahwa tidak ada
orang lain yang mengetahui?”
Kami menjawab, “Tidak.
Artinya bahwa orang lain memiliki Pengetahuan yang lebih sedikit. Hal ini
menyiratkan arti bahwa orang-orang yang memilih orang-orang yang lebih rendah pengetahuannya untuk
memimpin umat bagi kepentingan mereka sendiri, bertanggung jawab atas ketidak beruntungan
seluruh umat Islam di sepanjang sejarah. Syi’ah menyatakan bahwa pemimpin harus
memiliki seluruh kualitas seperti berpengetahuan, berani, adil, bijaksana,
saleh, mencintai Allah SWT dan lain-lain untuk memberi keyakinan atas
kesejahteraan umat Islam.”
Sang Wahabi bertanya, “Apakah
Quran benar-benar menyatakan bahwa imamah lebih tinggi daripada keNabian dan keRasulan?”
Kami menjawab, “Ada
perbedaan tingkat di dalam imamah. Kepemimpinan Rasul lebih tinggi daripada
pemimpin-pemimpin lain. Tentunya, imam mesjid sama sekali tidak lebih tinggi
daripada seorang Nabi atau Rasul.”
Sang Wahabi bertanya
kembali, `Anda tidak menjawab pertanyaan saya. Saya tidak sedang membicarakan
tingkatan kepemimpinan. Tolong baca kembali pertanyaan itu. Mengenai imam
masjid, hal ini menunjukkan bahwa anda tidak membaca definisi yang saya berikan
untuk kata Imam di bahasan saya sebelumnya. Saya menyatakan, `Imam artinya
orang yang ditunjuk Allah sebagai pemimpin atau penunjuk jalan yang kepadanya
orang-orang harus taat dan mengikutinya.’ Apakah definisi di atas sesuai untuk
definisi `imam mesjid’? Allah SWT berfirman bahwa Nabi Muhammad adalah seorang
pembawa peringatan, dan setiap umat (generasi) memiliki pemimpinnya. (QS. al-Ra’d
: 7). Jelaslah bahwa tidak ada Rasul lain setelah Nabi Muhammad. Dengan
demikian para pemimpin bagi setiap generasi bukanlah Rasul.
Kami menjawab, “Karena
orang-orang yang paling berimanpun hanya dapat menjadi orang beriman jika ia
meyakini semua Rasul, lalu bagaimana ia dapat lebih baik daripada salah satu Rasul
yang harus ia yakini agar disebut orang beriman? Nabi Muhammad meyakini semua Rasul
sebelum dirinya, tetapi kedudukannya lebih tinggi dari semua Rasul. Apakah anda
sepakat?”