Jumat, 03 Juli 2015

Apakah Para Imam Mendapafkan Ilham?

Apakah Para Imam Mendapafkan Ilham?
Tidak ada keraguan ketika ayat ini turun, Hari ini telah aku sempurnakan agamamu dan telah aku cukupkan karuniaku kepada kalian, dan aku ridhai Islam menjadi agamamu” ( QS. al-Maidah : 3 ), agama telah sempurna. Allah SWT menurunkan Quran juga syariat hanya kepada Nabi Muhammad SAW, dan tidak ada wahyu seperti itu yang diturunkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila Imam Ali diberi ilham, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan firman Allah SWT: Ilham yang diberikan kepadanya merupakan hal yang telah dan akan terjadi.
Allah SWT memiliki banyak cara untuk memberi tahu sesuatu kepada hamba-hamba-Nya. Salah satunya adalah dengan wahyu (wahy). Cara lain adalah dengan membisiki (memberi ilham). Dengan cara memberi ilham ini, Allah memasukkan ilmu pengetahuan ke dalam hati hamba-Nya. Hal ini diyakini oleh semua mazhab Islam.
Tetapi apakah anda berpikir bahwa wahyu hanya diperuntukkan bagi Nabi dan Rasul? Apabila demikian anda telah bertentangan dengan Quran karena ibunda Nabi Musa as bukanlah seorang Nabi ataupun Rasul. Bukankah demikian? Allah SWT mewahyukan untuk meletakkan putranya pada sebuah keranjang di sungai ~agar tentara-tentara Fir’aun membawanya ke istana.          
Dan Kami memberi wahyu kepada ibunda Musa. Susuilah (bayi itu) tetapi apabila engkau telah merasa takut, lemparkanlah ia ke sungai dan janganlah engkau takut bahwa engkau akan berduka cita karena Kami akan menjaganya untukmu dan Kami akan mengangkatnya menjadi salah satu utusan Kami (QS. al-Qashash : 7).

Perhatikanlah bahwa secara langsung Quran menggunakan kata “wahy” (wahyu). Di sini, Yusuf Ali telah menerjemahkan kata’wahy dengan artian ilham. Tetapi Quran menggunakan kata ‘wahy’ (wahyu), dan bukan bisikan (ilham). Wahyu dan ilham merupakan dua hal yang berbeda.
Bagaimanapun, satu hal yang jelas adalah bahwa wahyu yang diturunkan kepada selain Nabi atau Rasul tidak memiliki sangkut paut dengan syariat. Wahyu tersebut tidak berkaitan dengan ajaran agama dan lain-lain. Wahyu tersebut lebih merupakan perintah untuk memilih ketika sedang dalam kebingungan dan atau memberitahukan apa yang telah dan akan terjadi.
Kita dapat menyimpulkan bahwa wahyu memiliki berbagai jenis. Hanya wahyu yang diberikan kepada Nabi dan Rasul saja yang berhubungan dengan ajaran agama dan praktik-praktiknya yang baru, sedangkan wahyu lainnya tidak.
Catatan: Quran juga menggunakan kata wahy kepada selain manusia, tetapi hal itu bukan pembahasan kami. Dalam buku ini kami menitikberatkan pada jenis wahyu lain untuk manusia saja.

Apakah Para Imam bertemu dengan Malaikat?
Menurut Quran, berkomunikasi dengan malaikat bukan sesuatu yang khusus bagi para Nabi dan Rasul. Allah SWT menyebutkan dalam Quran bahwa Maryam (ibunda Nabi Isa) berkomunikasi dengan malaikat, dan malaikat berbicara dengan Nabi Isa. Lihatlah Quran mengenai percakapan ibunda Maryam dan para malaikat!
Ingatlah ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah menggembirakan kamu dengan Kalimat daripada-Nya, namanya al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia ini dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). “(QS. Ali Imran : 45)

Ada sebuah percakapan yang lengkap antara Maryam dan malaikat. Lihatlah beberapa ayat sebelum dan sesudahnya dari ayat di atas! Maryam as bukanlah seorang Nabi atau Rasul, tetapi ia berkomunikasi dengan malaikat. Namun demikian, komunikasi antara Maryam dengan malaikat tidak berkaitan dengan syariat. Percakapannya tidak ada sangkut paut dengan praktik agama. Tetapi lebih berupa berita tentang apa yang akan terjadi, dan perintah yang harus dilakukan.
Surah yang berhubungan dengan ayat ini adalah Hud ayat 69-­73 di mana malaikat berkomunikasi dengan istri Nabi Ibrahim dan membawakannya berita gembira bahwa ia akan mengandung Nabi Ishak as.
Bahkan kaum Suruai menyatakan bahwa Imran bin Husain Khuza’i (52/672) yang merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, dikunjungi oleh malaikat, menyapa mereka, berjabatan tangan dan memandang mereka. Ia hanya ditinggalkan oleh mereka sesaat setelah para malaikat kembali hingga wafatnya.’16
Tidak ada keraguan bahwa Imam Ali adalah muhaddats yang artinya ‘seseorang yang telah diajak bicara’. Tidak hanya Imam Ali, tetapi semua Imam dua belas, demikian juga dengan Sayidah Fathimah.
Berdasarkan hadis Sunni yang sahih, diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Aisyah bahwa Nabi Muhammad bersabda,
“Di antara umat sebelum kamu terdapat orang-orang yang menjadi muhaddatsun (orang yang dapat mengetahui sesuatu akan terjadi dengan benar, seperti orang-orang yang telah diberi ilham oleh kekuatan ilahi), dan apabila ada orang-orang seperti itu di antara pengikutku, mereka adalah...”17

Dalam Shahih Bukhari, diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Di antara bangsa-bangsa sebelumnya ada orang­-orang yang sering diberi ilham (meskipun mereka bukanlah para Nabi). Dan apabila terdapat orang-orang seperti itu, di antara pengikutku, mereka adalah...”18
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, “Di antara bangsa Israil yang hidup sebelum kalian, ada orang-orang yang sering mendapat ilham melalui petunjuk meskipun mereka bukan para Nabi, dan apabila terdapat orang-orang seperti itu, di antara pengikutku, mereka adalah...”
Selain itu diriwayatkan, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya di antara bangsa-bangsa yang hidup sebelum kalian terdapat orang­-orang muhaddatsun dan apabila ada salah seorang di antara pengikutku, ia adalah...”
Nabi Muhammad juga bersabda, “Sesungguhnya diantara Bani Israil sebelum kalian terdapat orang-orang yang diajak berbicara (rijalun yukallamun) dan mereka bukan Rasul dan apabila ada salah satu di antara umatku, ia adalah...”19
Kesimpulannya adalah bahwa eksistensi muhaddatsun (orang-orang yang diajak berkomunikasi) merupakan suatu hal yang dibenarkan oleh semua umat Islam dan bahwa hal ini bukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Catatan kaum Sunni di atas juga membenarkan bahwa muhaddatsun bukanlah para Nabi dan mereka tidak membawa syariat (aturan ilahi) dari Allah SWT kepada umat.
Berikut ini definisi Nabi, Rasul, dan imam. Nabi adalah orang yang menerima syariat. Syariat di sini berkaitan dengan keyakinan (aqaid) atau dengan aktivitas praktis (ibadah). Syariat meliputi urusan kehidupan Nabi dan juga umatnya, atau keduanya. Ini adalah definisi dasar dari Nabi, meskipun Nabi juga mungkin diberitahu hal lain. Turunnya syariat ini dapat langsung atau melalui perantara seperti malaikat.
Rasul adalah Nabi yang menerima syariat yang berkaitan dengan dirinya dan orang lain selain dirinya. Sedangkan imam adalah orang yang ditunjuk oleh Allah SWT sebagai pemimpin dan sebagai penunjuk (QS. al-Anbiya : 73) yang kepadanya ketaatan harus kita berikan dan orang-orang harus mengikutinya. Rasul adalah pembawa peringatan dan imam adalah penunjuk jalan (QS. al-Ra’d : 7) atau cahaya petunjuk (QS. al-Maidah : 97).
Menarik untuk diperhatikan bahwa ketika ayat tentang sempurnanya agama Islam diturunkan, banyak ulama tafsir Sunni membenarkan bahwa ayat Hari ini telah aku sempumakan agamamu dan telah aku cukupkan karuniaku kepada kalian, dan aku ridhoi Islam menjadi agamamu (QS. al-Maidah: 3), turun di Ghadir Khum ketika Nabi Muhammad mengumumkan siapa penerus dirinya.20 Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa agama Islam tidak akan sempurna jika tidak ada pernyataan tentang kepemimpinan Imam Ali, dan kesempurnaan agama ditentukan oleh pernyataan Nabi tentang penerus setelahnya.

Perbedaan Antara Nabi dan Rasul
Di dalam bahasa Arab tidak ada kata terpisah untuk istilah Nabi dan Rasul. Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah bahwa derajat keNabian lebih rendah dari derajat keRasulan.
Seorang Nabi adalah orang yang menerima hukum syariat, yang dapat berisi mengenai keyakinan (‘aqaid), kehidupan Nabi itu sendiri, umatnya, atau keduanya. Definisi ini merupakan definisi dasar dari keNabian, meskipun Nabi juga diberitahu tentang hal lainnya. Turunnya hukum syariat dapat secara langsung, atau melalui perantara seperti malaikat. Sedangkan Rasul adalah Nabi yang menerima hukum ilahi yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan orang-orang selain dirinya. Dengan demikian, setiap Rasul (manusia) adalah Nabi tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Selain itu, setiap Nabi yang disebutkan Quran bersama umatnya adalah Rasul.
Maka ketika Quran menyatakan bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir (QS. al-Ahzab:40), dengan merujuk pada definisi di atas, ia juga adalah Rasul terakhir. Perhatikanlah bahwa kata ‘manusia’ dalam definisi Rasul sangat penting karena Quran juga menggunakan istilah’Rasul’ untuk malaikat yang memberi perintah atas kehendak Allah SWT.

Allah memilih Rasul-Rasul dari kelompok malaikat dan dari kelompok manusia, karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Hajj : 75)

Telah datang kepada Nabi Ibrahim Rasul-Rasul kami dengan membawa berita gembira. Mereka berkata, “Selamat!” Ibrahim menjawab, “Selamat. “ Segera ia membawa daging sapi panggang.
(QS. Hud : 69)

Ketika  Rasul-rasul kami menemui Luth, ia merasa bersedih karena mereka dan merasa tidak berdaya (untuk melindungi) mereka. Ia berkata, “Ini adalah hari yang sukar.” (QS. Hud : 77)

(Malaikat itu) berkata, “Wahai Luth, kami adalah utusan dari Tuhanmu...” (QS. Hud : 81)
Lihat juga al-A’raf:37, al-Hijr:57 dan 61, Maryam:l9, al-Ankabut:31, 33.
Bagaimanapun, seorang Nabi adalah manusia. Tidak ada malaikat yang dapat disebut Nabi. Dengan demikian setiap Rasul adalah Nabi tetapi setiap Nabi seorang Rasul.
Jumlah Rasul lebih sedikit dari jumlah Nabi dan setiap Rasul menerima sebuah kitab, tetapi hanya beberapa Nabi yang menerima kitab. Selain itu, karena ia harus meyakinkan umatnya untuk menerima agama baru dengan amalan-amalan yang baru, tugas seorang Rasul lebih berat daripada tugas seorang Nabi. Inilah kenyataan utama bahwa kebutuhan, pikiran dan kemampuan umat berubah, dan menerima sebuah agama baru bukan suatu tugas yang mudah. Di sinilah, perintah-perintah agama baru seorang Nabi adalah untuk dirinya sendiri (kecuali jika ia seorang Rasul). Tentunya seorang Nabi mengajak umat menuju Allah SWT, tetapi ia tidak membuat amalan-amalan baru bagi umat itu. Intinya, jika seorang Nabi bukan seorang Rasul, umat yang ia ajak untuk memtju Allah SWT akan diperintah untuk mengikuti kebiasaan dan amalan Rasul sebelumnya.
Di antara para Rasul, ada lima orang yang lebih tinggi daripada Rasul lainnya. Sebagaimana yang mungkin anda ketahui, perbedaan satu-satunya antara kelima orang Rasul ini dari Rasul-Rasul lainnya adalah bahwa mereka ditunjuk secara menyeluruh (untuk seluruh umat manusia pada zamannya), sedang Rasul-Rasul lainnya ditunjuk untuk suatu daerah tertentu (hanya satu wilayah atau suatu tempat). Kata ‘alamin dan atau jami’an telah digunakan Quran untuk Nabi Isa dalam mendukung gagasan ini.
Suatu kali seorang Bahai menyatakan bahwa para Rasul (yang datang sebelum imam terakhir) hanyalah lima Rasul yang memiliki kitab. Tetapi sisanya adalah para Nabi, Hal ini tidak benar Karena Quran  menyatakan bahwa Nabi Daud  memiliki kitab Zabur  tetapi ia tidak termasuk kedalam lima rasul besar. Ia adalah seorang rasul karena membawa kita bagi umatnya.

Imam atau Muhaddats
Imam artinya seorang manusia yang ditunjuk Allah SWT sebagai pemimpin atau penunjuk jalan (lihat al-Anbiya:73 dan as-Sajdah:24) di mana semua orang harus taat kepadanya dan mengikutinya. Para Rasul adalah pembawa peringatan dan para imam adalah pemberi petunjuk (QS. al­-Ra’d : 7). Para imam adalah cahaya petunjuk (QS. al-An’am : 97).
Imam tidak menerima wahyu ilahi yang berisi syariat (hukum ilahi). Ia tidak menerima perintah apapun yang berhubungan dengan amalan­amalan agama yang baru dan lain-lain. Tetapi, ia diberitahu tentang peristiwa masa lalu dan masa yang akan datang.
Perbedaan lain antara Rasul, Nabi, dan imam (muhaddats) adalah dalam cara mereka berkomunikasi dengan malaikat. Perbedaan ini dijelaskan dalam Ushul al-Kafi, bab al-Hujjah ketika menerangkan Surah al-Hajj ayat 52.
Rasul melihat dan mendengar malaikat dalam kondisi terjaga dan tertidur. Nabi mendengar dan melihat malaikat hanya ketika ia dalam kondisi tertidur, namun ia tidak melihatnya dalam keadaan terjaga meskipun dapat mendengar perkataannya. Imam (muhaddits) adalah orang yang mendengar malaikat dalam keadaan terjaga tetapi ia tidak dapat melihatnya dalam keadaan terjaga atau tertidur.
Pada bagian sebelumnya kami mengutip ayat Quran bahwa ibunda Maryam as berkomunikasi dengan malaikat. Apabila menurut kitab Shahih Bukhari, Fathimah as adalah penghulu perempuan di dunia ini dan di akhirat, lalu mengapa ia tidak dapat berkomunikasi dengan malaikat?
Dalam Shahih Bukhari hadis 4.819, diriwayatkan oleh Aisyah, Nabi Muhammad berkata kepada Fathimah (yang menangis ketika ayahnya meninggal dunia), “‘Tidakkah kau gembira bahwa engkau dan  penghulu dari semua perempuan di surga dan penghulu seluruh perempuan yang beriman?”
Selain itu, Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Empat perempuan penghulu alam semesta adalah, Maryam, Asiah (istri Fir’aun), Khadijah, dan Fathimah. Dan perempuan paling utama di dunia adalah Fathimah.”21
Bagi orang-orang yang meyakini Shahih Bukhari, kami akan mengutip kitab ini sekali lagi yang menegaskan bahwa Sayidah Fathimah berkomunikasi dengan malaikat Jibril.
Dalam Shahih Bukhari hadis 5.739, diriwayatkan oleh Anas,
“Ketika sakit Nabi semakin memburuk, ia tidak sadarkan diri. Melihat keadaan itu Fathimah berkata, ‘Betapa menderitanya ayahku!’ Ia berkata, Ayahmu tidak akan menderita setelah hari ini.’ Ketika Nabi meninggal, Fathimah berkata, ‘Wahai Ayah! Yang telah menjawab seruan Tuhan yang telah mengundangnya! Wahai Ayah, yang tempat tinggalnya adalah surga! Wahai Ayah! Kami menyampaikan berita ini (kematianmu) kepada Jibril.’ Ketika Nabi dikuburkan, Fathimah berkata, ‘Wahai Anas! Tegakah engkau melemparkan tanah kepada Rasulullah?’

Tidak hanya itu saja, Kaum Sunni pun meriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali berkata bahwa malaikat Jibril sering mengunjungi Ahlulbait. Diriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali menyatakan ucapan di bawah ini dalam sebuah khutbah yang ia sampaikan ketika Imam Ali wafat, ‘Aku berasal dari keluarga Ahlulbait. Keluarga yang malaikat Jibril sering mendatangi kami dan pergi ke surga setelah menemui kami.”22
Ketika Imam Hasan menggunakan istilah `kami’, artinya bahwa bukan hanya Nabi Muhammad SAW saja yang sering didatangi malaikat Jibril. Tentu saja malaikat Jibril tidak menyampaikan sesuatu dari Quran kepada Imam Hasan. Tetapi hadis Sunni di atas menunjukkan bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan malaikat Jibril.


Beberapa Komentar
Seorang Wahabi menyebutkan bahwa kaum Syi’ah yakin para imam mengetahui kapan mereka akan meninggal, dan mereka tidak meninggal kecuali atas kehendak mereka.
Kami menjawab: Hal inipun dianugerahkan kepada para Rasul. Oleh karena itu, kami tidak memahami mengapa para imam tidak memilikinya. Berikut ini dua hadis di dalam Shahih Bukhari yang menegaskan pernyataan itu bagi Nabi Musa.
Dalam Shahih Bukhari hadis 2.423 dan 4.619, diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
“Malaikat maut diutus kepada Nabi Musa dan ketika ia menemuinya, Nabi Musa menamparnya dengan sangat keras sekali hingga salah satu matanya terlepas. Malaikat maut kembali kepada Tuhannya dan berkata, ‘Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati.’ Allah membetulkan kembali matanya dan berkata, ‘Kembalilah dan katakan kepadanya (Musa) untuk meletakkan tangannya di punggung sapi, karena ia akan hidup dalam beberapa ratus tahun sejumlah bulu sapi yang menempel di tangannya.’

Kemudian malaikat maut menemuinya dan berkata hal yang sama kepadanya. Kemudian Musa bertanya, ‘Wahai Tuhanku, apa yang akan terjadi kemudian?” Allah berkata, ‘Kematian akan menjemputmu.’ Ia berkata, `Biarkanlah kematian menjemputku sekarang.’ Ia meminta kepada-Nya agar dia dibawa untuk berada di dekat tanah Suci sejauh lemparan sebuah batu. Rasulullah berkata, ‘Sekiranya aku berada di sana, aku akan menunjukkan kepadamu pusara Musa yang dekat dengan lembah pasir berwarna merah.”23

Menurut hadis di atas, Nabi Musa menyatakan tidak ingin wafat, lalu Musa diberitahu oleh Allah SWT tentang kapan ia akan wafat (dalam waktu sejumlah bulu). Kemudian Musa meminta kepada Allah SWT untuk mengubah kematiannya menjadi saat itu juga.
Muatan ejekan di dalam hadis di atas oleh Bukhari patut dipertanyakan bagi kami. Tetapi, karena anda menganggapnya sebagai hadis sahih, maka anda harus sepakat bahwa para Rasul tahu tentang kapan mereka akan  wafat. Mengapa para imam tidak mengetahuinya?
Di sini kami harus menyebutkan bahwa menurut ajaran Islam, Allah SWT tidak memberikan kekuasaan-Nya kepada para Nabi atau imam. Kekuasaan para Rasul dan imam tidak tergantung kepada Allah SWT. Kekuasaan ini diberikan kepada mereka dari Allah SWT dan juga dikendalikan oleh-Nya. Jika mereka tidak menaati Allah SWT, kekuasaan itu akan segera diambil. Maka, jika Nabi Musa atau para Nabi dan imam wafat atas kehendak mereka sendiri, kita harus ingat bahwa orang-orang suci itu tidak menghendaki apa yang tidak Allah SWT kehendaki. Jadi keinginan mereka tentang kapan mereka akan wafat benar-benar sesuai dengan apa yang Allah SWT kehendaki, kerena mereka benar-benar taat kepada Allah SWT. Sebenarnya, apa yang kami katakan di sini agak bertolak berlakang dengan riwayat Abu Hurairah di atas. Tetapi karena anda meyakini Bukhari, anda berbicara lebih jauh dari pada pernyataan yang ditulis di dalam al-Kafi. Dengan kata lain, hadis Bukhari di atas menyatakan bahwa seorang Rasul dapat menolak atau mengubah perintah Allah SWT bahkan menampar malaikat maut. (Semoga Allah melindungi kita dari ucapan­ucapan keji seperti itu.)
Sang Wahabi berkata, “Dalam hadis Syi’ah disebutkan bahwa seluruh muka bumi ini milik para imam.”
Kami menjawab, ‘Allah SWT, pemilik Keagungan dan Kemuliaan berfirman, Dunia ini milik Allah. Ia memberikannya sebagai warisan kepada orang-orang yang la kehendaki dan akhir yang baik adalah bagi hamba-hamba yang beriman (QS. al-A’raf : 128).”
Sang Wahabi bertanya, “Tidak ada yang menyangkal bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang paling mengetahui para sahabat. Meskipun kita mengakui bahwa Imam Ali adalah orang yang paling mengetahui, lalu bagaimana? Apakah artinya bahwa tidak ada orang lain yang mengetahui?”
Kami menjawab, “Tidak. Artinya bahwa orang lain memiliki Pengetahuan yang lebih sedikit. Hal ini menyiratkan arti bahwa orang-orang yang memilih orang-orang yang lebih rendah pengetahuannya untuk memimpin umat bagi kepentingan mereka sendiri, bertanggung jawab atas ketidak beruntungan seluruh umat Islam di sepanjang sejarah. Syi’ah menyatakan bahwa pemimpin harus memiliki seluruh kualitas seperti berpengetahuan, berani, adil, bijaksana, saleh, mencintai Allah SWT dan lain-lain untuk memberi keyakinan atas kesejahteraan umat Islam.”
Sang Wahabi bertanya, “Apakah Quran benar-benar menyatakan bahwa imamah lebih tinggi daripada keNabian dan keRasulan?”
Kami menjawab, “Ada perbedaan tingkat di dalam imamah. Kepemimpinan Rasul lebih tinggi daripada pemimpin-pemimpin lain. Tentunya, imam mesjid sama sekali tidak lebih tinggi daripada seorang Nabi atau Rasul.”
Sang Wahabi bertanya kembali, `Anda tidak menjawab pertanyaan saya. Saya tidak sedang membicarakan tingkatan kepemimpinan. Tolong baca kembali pertanyaan itu. Mengenai imam masjid, hal ini menunjukkan bahwa anda tidak membaca definisi yang saya berikan untuk kata Imam di bahasan saya sebelumnya. Saya menyatakan, `Imam artinya orang yang ditunjuk Allah sebagai pemimpin atau penunjuk jalan yang kepadanya orang-orang harus taat dan mengikutinya.’ Apakah definisi di atas sesuai untuk definisi `imam mesjid’? Allah SWT berfirman bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pembawa peringatan, dan setiap umat (generasi) memiliki pemimpinnya. (QS. al-Ra’d : 7). Jelaslah bahwa tidak ada Rasul lain setelah Nabi Muhammad. Dengan demikian para pemimpin bagi setiap generasi bukanlah Rasul.
Kami menjawab, “Karena orang-orang yang paling berimanpun hanya dapat menjadi orang beriman jika ia meyakini semua Rasul, lalu bagaimana ia dapat lebih baik daripada salah satu Rasul yang harus ia yakini agar disebut orang beriman? Nabi Muhammad meyakini semua Rasul sebelum dirinya, tetapi kedudukannya lebih tinggi dari semua Rasul. Apakah anda sepakat?”