Minggu, 11 Oktober 2015

Mauponggo Kaya Potensi

Mauponggo Kaya Potensi, Miskin Perhatian
Kampung Dhawe Desa Woloede adalah beberapa kampung yang kaya akan sumber daya alam dan obyek wisata yang menarik  karena masyarakat masih mempertahankan tradisi. (Foto : FBC/Kornelius Rahalaka)
Kampung Dhawe Desa Woloede adalah beberapa kampung yang kaya akan sumber daya alam dan obyek wisata yang menarik karena masyarakat masih mempertahankan tradisi. (Foto : FBC/Kornelius Rahalaka)
Pu’uwala-Aewoe, Mauponggo juga terkenal sebagai salah satu daerah yang memiliki daya tarik wisata yang luar biasa. Selain pantai Enagera yang indah dengan bentangan pasir putih yang mempesona, sebagian besar wilayah Mauponggo terletak di dataran tinggi yang diapiti oleh gugusan pegunungan yang curam.
Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo merupakan salah satu kecamatan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sejak dulu daerah yang terletak di sekitar kaki gunung Ebulobo ini terkenal sebagai penghasil utama tanaman perdagangan seperti cengkeh, kakao, kopi, pinang, vanili, kelapa dan tenaman rempah-rempah lainnya.
Mauponggo tergolong wilayah paling subur karena berada di bawah kaki gunung api Ebulobo yang sewaktu-waktu memuntahkan abu vulkanik dari kawah gunung tersebut. Memasuki kawasan Mauponggo, dapat kita saksikan panorama alam yang indah dengan beragam tanaman pertanian dan perdagangan.
Hamparan sawah, perkebunan cengkeh serta keunikan kampung-kampung tradisional yang tertata rapid an terpelihara keasliannya serta beragam mitos dan ceritra-ceritra sejarah yang unik dan bernilai magis-spiritual tinggi.
Kampung Dhawe Desa Woloede, Kampung Pajumala, Malalaja, Woloroja, Uluwaga, Wolosambi, adalah beberapa kampung yang kaya akan sumber daya alam dan obyek wisata yang menarik dan dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Di kampung-kampung ini pula dapat ditemukan rumah-rumah adat berusia ratusan tahun yang masih terpelihara dan terjaga dengan baik. Masyarakat Mauponggo dan Nagekeo pada umumnya masih sangat menjaga dan menghormati berbagai kebudayaan lokal mereka baik terkait dengan ritual adat maupun  dengan symbol-simbol adat yang mereka miliki.
Namun,untuk menjangkau semua kampung atau wilayah Mauponggo tidak mudah. Infrastruktur  jalan yang buruk menjadi hambatan utama. Saat ini jalur jalan menuju ke ibu kota kecamatan Mauponggo relative lancar dan baik namun tidak demikian halnya dengan akses jalan menuju ke kampung-kampung di wilayah pegunungan. Rata-rata masih jalan tanah dan hanya sedikit yang beraspal, itu pun sebagian jalan dalam kondisi compang camping alias memprihatinkan.
Kaya potensi namun minim perhatian dalam upaya pembangunan bukan hanya menjadi potret buram masyarakat di Kecamatan Mauponggo dan sekitarnya tetapi kondisi serupa dialami pula oleh wilayah lainnya di Kabupaten Nagekeo. Kisah indah tentang kekayaan sumber daya alam terutama dibidang pariwisata juga datang dari Wolowae, sebuah kecamatan yang terletak di bagian timur ibu kota Mbay. Obyek wisata alam pantai Nangateke, Pantai Kotajogo dan Teluk Todo hanyalah sejumlah kecil potensi pariwisata yang masih belum digarap.
Wilayah Kecamatan Wolowae terkenal dengan padang penggembalaan ternak khususnya sapi. Daerah Wolowae merupakan wilayah yang memiliki padang savanna terluas di Kabupaten Nagekeo dan merupakan daerah pengembang garam yang sangat potensial. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ende ini juga memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang masih terjaga dengan baik.
Selain Wolowae yang terkenal dengan padang savanna yang membentang luas dan panorama alam dan budaya yang beranekaragam, Kecamatan Nangaroro yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ende di bagian selatan Kabupaten Nagekeo juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Potensi pariwisata di wilayah ini pun sungguh menakjubkan. Pantai Ma’u Embo dalam bilangan Desa Tonggo Kecamatan Nangaroro merupakan salah satu obyek wisata alam pantai yang menjanjikan. Beberapa aktivitas seperti snorkeling atau diving dapat dilakukan di kawasan ini.
Beragam cerintra sejarah dan keindahan alam bawah laut dapat ditemukan di wilayah ini. Akses menuju ke kawasan obyek wisata laut Ma’u Embo cukup mudah karena terletak tidak jauh dari Nangaroro yang merupakan jalur jalan utama trans Flores.
Untuk menelusuri kampung-kampung tradisional di wilayah ini sesungguhnya tidak terlampau sulit. Wilayah Keo Tengah yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Nagekeo adalah sebuah daerah yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budayanya.
Di wilayah ini terdapat kampung-kampung tradisional seperti Kampung Wajo yang terkenal dengan alat musik bambu yang oleh masyarakat setempat menyebutnya ndoto. Kampung adat ini sangat unik dan memiliki ritual yang diharuskan bagi setiap pengunjung atau wisatawan yang berkunjung ke kampung ini.
Setiap pengunjung diwajibkan mengenakan pakaian adat setempat sebelum memasuki areal kampung adat. Letaknya di ketinggian mempermudah para pengunjung menikmati keindahan alam dengan latarbelakangan perbukitan dan tak jarang kawasan itu berkabut menjelang sore hari.
Hampir seluruh wilayah Nagekeo memiliki kekayaan alam dan budaya yang unik dan melimpah. Selain Mbay, Mauponggo, Wolowae, Nangaroro dan Keo Tengah, wilayah Boawae sebagai salah satu kecamatan di Nagekeo merupakan salah satu wilayah yang memiliki sejarah panjang dan unik tak terlupakan hingga kini. Terletak di bawah kaki gunung Ebulobo, Boawae termasuk kawasan yang sangat indah dan subur.
Kampung adat Nggolonio yang masih terpelihara. (Foto : FBC/Kornelius Rahalaka)
Kampung adat Nggolonio yang masih terpelihara. (Foto : FBC/Kornelius Rahalaka)
Dari sudut sejarah, Boawae merupakan pusat swapraja Nagekeo pada masa pemerintahan kononial. Selain itu, di Kampung Boawae terdapat Peo, rumah adat atau Sa’o Waja, Ja Heda, Bo Heda yang memiliki daya pesona tersendiri karena terkait dengan sejarah dan kepurbakalaan.
Di pintu masuk Kampung Boawae, dapat dijumpai Heda (museum lokal) sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala dan terdapat pula Je Heda sebagai symbol kekuatan yang dilukiskan sebagai patung yang menyerupai seekor kuda. Di tengah kampung dapat ditemui Peo yang merupakan lambing persatuan masyarakat adat. Di tempat ini pula kerapkali diselenggarakan atraksi tinju adat tradisional atau oleh masyarakat setempat menyebutnya Etu.

Atraksi Etu telah merupakan icon budaya Kabupaten Nagekeo yang sangat menarik wisatawan asing pun domestic. Selain atraksi Etu, di wilayah ini pula biasa dipentaskan berbagai tarian sepertitoda gu yakni tarian dengan menggunakan alat musik gendang dan bambu  dalam nada dan irama yang harmonis yang biasa dilakonkan pada acara tertentu seperti pemugaran rumah adat (Sao Waja) atau penancapan tiang agung di tengah kampung (Pa Peo)sebagai ekspresi keperkasaan dan ketangkasan dalam melindungi tanah air atau harta kekayaan alam yang mereka miliki.