Selasa, 27 Oktober 2015

Menyeberang ke Pulau Ende – Flores

Menyeberang ke Pulau Ende – Flores

Kali ini saya punya kesempatan menyeberang dan jalan-jalan ke pulau kecil yang ada di Nusa Tenggara Timur yaitu Pulau Ende. Pulau yang berada di selatan Pulau Flores ini, tepatnya berada di Barat Daya Kabupaten Ende. Nama pulau diambil dari nama kabupaten induknya, dan juga sama dengan nama ibu kota kabupaten. Menurut mitologi masyarakat setempat, Pulau Ende adalah jelmaan parang yang digunakan oleh Gunung Wongge untuk memenggal kepala Gunung Meja. Hal ini terlihat dari bentuk pulau yang menyerupai parang yang memanjang. Kisah tentang mitos Pulau Ende dapat dibaca lengkap di sini
Pulau Ende memiliki luas 63,03 km², yang didiami oleh ± 8.621 penduduk yang menempati sembilan desa yaitu Desa Ndoriwoy, Rendoraterua, Paderape, Aejeti, Puutara, Rorurangga, Redodori, Kazokapo dan Rendamenge. Umumnya masyarakat pulau kecil ini, memilih pekerjaan sebagai nelayan dan pedagang. Demikian juga dengan bahan makanan utama bukanlah beras sebagaimana penduduk daratan Flores. Konsumsi utama masyarakat Pulau Ende adalah singkong. 
 Jalur laut menuju Pulau Ende dilayani dengan kapal motor kayu atau oleh masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah “taxi laut”, dari pelabuhan di Pasar Mbongawani Kota Ende ke Pulau Ende pulang pergi setiap harinya. Terdapat lima kapal yang beroperasi yaitu, kapal motor Harimau I, Harimau II, Harimau III, Al-Amin I dan Al-Amin II. Dengan jadwal rute pelayaran dari Pelabuhan Kota Ende ke Pulau Ende pukul 9.00 pagi dan 12.30 siang, sedangkan dari Pulau Ende ke Pelabuhan di Kota Ende pukul 05.00 pagi dan 12.30 siang. Masing-masing jadwal dilayani dua kapal, dengan waktu tempuh ± 45 menit untuk perjalanan sejauh 40 mil dari dan ke Pulau Ende. Di Pulau Ende kapal akan menyinggahi tiga pelabuhan di tiga desa yaitu Desa Paderape, Desa Puutara dan Desa Ekoreko. Ongkos menyeberang ke Pulau Ende antara Rp. 7.500-10.000, fluktuasi sesuai dengan harga BBM yang naik turun. 
Sarana transportasi kapal ini juga menarik untuk dibahas, seperti kapal yang memiliki dua dek yang diperuntukan bagi para penumpang. Dek dasar pada lambung kapal digunakan untuk penyimpanan barang penumpang, sedangkan dek atas tengah digunakan khusus untuk penumpang perempuan dan anak-anak. Untuk penumpang laki-laki dapat menempati dek pada haluan dan buritan. Kapal juga dilengkapi dengan kamar kecil pada buritan bawah kapal. Nahkoda yang menjalankan kemudi kapal menempati ruang bersama para penumpang laki-laki di dek buritan atas. Dalam satu pelayaran kapal bisa memuat hingga 100 orang penumpang, belum ditambah dengan barang-barang bawaan penumpang dan beberapa kendaraan roda dua yang bisa ditempatkan di samping dan haluan kapal. Karena infrastruktur pelabuhan yang belum memadai, maka untuk naik turun ke pantai harus menggunakan perahu kecil yang juga bisa digunakan laksana sekoci. Selain dilayani dengan kapal reguler juga terdapat kapal mesin yang bisa disewa jika pelayaran tidak pasti, seperti keperluan mendadak atau terjadinya perubahan cuaca. Perlu diingat bagi para pengunjung ke Pulau Ende, bahwa tidak terdapat penginapan sehingga pilihannya adalah pulang pada siangnya atau menginap di rumah-rumah penduduk.
 Penduduk Pulau Ende adalah 99,9% beragama Islam yang ditandai dengan keberadaan 13  mesjid dan tiga buah langgar. Sedangkan 0,01% adalah pendatang yang beragama lain, dengan maksud tidak untuk menetap, seperti pekerja proyek, pegawai pemerintahan dan tamu dari luar. Walau demikian sebagai pulau yang diisolasi dengan lautan, mempengaruhi masyarakat Pulau Ende dari masa lalu, sehingga banyak kisah dan peristiwa mistis yang ada di pulau ini seperti dinding batu yang mengeluarkan air merah darah (ngazumbu), batu ceper yang berbentuk bulat yang bisa mencukupi berapapun jumlah orang yang melengkarinya (bekas kediaman Embu Rembotu), Pulau yang berpindah-pindah (Pulau Songo), relasi geografis antara Pulau Ende dengan kiblat umat muslim di Mekah, dan masih banyak lagi. Sedangkan peristiwa mistis massal yang pernah terjadi yaitu ru’upota, yaitu hilangnya organ seksual pada anak-anak hingga orang dewasa, yang pada laki-laki kehilangan kelaminnya, sedangkan perempuan kehilangan payudaranya. Selain hal-hal mistis, terdapat juga destinasi wisata sejarah seperti bekas reruntuhan benteng Portugis di dusun Kemo Desa Rendoraterua dan juga diperkirakan ada di dusun Metinumba Desa Paderape.
 Ada beberapa versi masuknya Islam ke Pulau Ende yang diperkirakan sebelum abad ke-15, seperti dibawa oleh Jal Jaelani Wal Ikram atau dikenal degan nama Embu Rembotu dan juga ada keyakinan bahwa dibawa langsung Imam Safi’I sebagai utusan dari tanah Arab. Sedangkan versi lain bahwa Islam di bawa oleh orang-orang Makasar yang dulunya dikenal sebagai perompak (bajak laut). Di masa penguasaan Portugis sekitar awal abad ke-17, penduduk Pulau Ende sempat dikonversi menjadi pemeluk Katolik, namun seiring dengan berakhirnya kekuasaan Portugis di Pulau ini di akhir abad ke-18, penduduk pulau kembali menjadi pemeluk Islam yang taat secara turun temurun hingga kini. Pernah ada wacana pemerintah daerah kabupaten untuk merekonstruksi kembali situs benteng dan peribadatan peninggalan Portugis, tetapi ditolak oleh masyarakat.
 Konon penduduk Pulau Ende berasal dari keturunan pasangan Redodori dan Ndoriwoi (yang kini menjadi nama desa di Pulau Ende). Diceritakan bahwa terdapat seorang perempuan jelmaan dari laut yang bernama Ndoriwoi, sebagai mahluk jelmaan Ndoriwoi diam-diam mencintai seorang pemuda lajang yang kesehariannya sebagai nelayan bernama Redodori. Setiap pulang setelah melaut, Redodori selalu mendapati makanan telah disiapkan dirumahnya. Karena rasa penasarannya, maka Redodori meminta masyarakat untuk mengumpulkan ludah hasil memakan sirih pinang, untuk ditumpahkan ke perahu yang biasa Redodori gunakan. Redodori menginstruksikan masyarakat untuk mengabari hingga pelosok desa, seolah Redodori sudah meninggal. Sesaat setelah mendengar kabar tersebut, Ndoriwoi muncul untuk menangisi kematian Redodori di samping perahunya. Di saat itulah diketahui perempuan yang selama ini diam-diam menyiapkan santapan Redodori selama ini. Masyarakatpun dibuat tercengang oleh mahluk jelmaan ini dan lalu menangkapnya. Namun akhirnya Redodori bersedia menikahi Ndoriwoi dan anak keturunan mereka kemudian menjadi penghuni Pulau Ende hingga saat ini. Dan kemudian pulau Ende didatangi oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, yang menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat. Berada di Pulau Ende, dengan budaya bercorak keislamannya, membawa ketentraman hati dan keramahan laku yang akan disuguhkan untuk para pengujung dan tamu. (*)