Menyeberang
ke Pulau Ende – Flores
Kali ini saya punya kesempatan
menyeberang dan jalan-jalan ke pulau kecil yang ada di Nusa Tenggara Timur
yaitu Pulau Ende. Pulau yang berada di selatan Pulau Flores ini, tepatnya
berada di Barat Daya Kabupaten Ende. Nama pulau diambil dari nama kabupaten
induknya, dan juga sama dengan nama ibu kota kabupaten. Menurut mitologi
masyarakat setempat, Pulau Ende adalah jelmaan parang yang digunakan oleh
Gunung Wongge untuk memenggal kepala Gunung Meja. Hal ini terlihat dari bentuk
pulau yang menyerupai parang yang memanjang. Kisah tentang mitos Pulau Ende
dapat dibaca lengkap di sini.
Pulau
Ende memiliki luas 63,03 km², yang didiami oleh ± 8.621 penduduk yang menempati
sembilan desa yaitu Desa Ndoriwoy, Rendoraterua, Paderape, Aejeti, Puutara,
Rorurangga, Redodori, Kazokapo dan Rendamenge. Umumnya masyarakat pulau kecil
ini, memilih pekerjaan sebagai nelayan dan pedagang. Demikian juga dengan bahan
makanan utama bukanlah beras sebagaimana penduduk daratan Flores. Konsumsi
utama masyarakat Pulau Ende adalah singkong.
Jalur laut menuju Pulau Ende dilayani
dengan kapal motor kayu atau oleh masyarakat setempat menyebutnya dengan
istilah “taxi laut”, dari pelabuhan di Pasar Mbongawani Kota Ende ke Pulau Ende
pulang pergi setiap harinya. Terdapat lima kapal yang beroperasi yaitu, kapal
motor Harimau I, Harimau II, Harimau III, Al-Amin I dan Al-Amin II. Dengan
jadwal rute pelayaran dari Pelabuhan Kota Ende ke Pulau Ende pukul 9.00 pagi
dan 12.30 siang, sedangkan dari Pulau Ende ke Pelabuhan di Kota Ende pukul
05.00 pagi dan 12.30 siang. Masing-masing jadwal dilayani dua kapal, dengan
waktu tempuh ± 45 menit untuk perjalanan sejauh 40 mil dari dan ke Pulau Ende.
Di Pulau Ende kapal akan menyinggahi tiga pelabuhan di tiga desa yaitu Desa
Paderape, Desa Puutara dan Desa Ekoreko. Ongkos menyeberang ke Pulau Ende
antara Rp. 7.500-10.000, fluktuasi sesuai dengan harga BBM yang naik turun.
Sarana transportasi kapal ini juga
menarik untuk dibahas, seperti kapal yang memiliki dua dek yang diperuntukan
bagi para penumpang. Dek dasar pada lambung kapal digunakan untuk penyimpanan
barang penumpang, sedangkan dek atas tengah digunakan khusus untuk penumpang
perempuan dan anak-anak. Untuk penumpang laki-laki dapat menempati dek pada
haluan dan buritan. Kapal juga dilengkapi dengan kamar kecil pada buritan bawah
kapal. Nahkoda yang menjalankan kemudi kapal menempati ruang bersama para
penumpang laki-laki di dek buritan atas. Dalam satu pelayaran kapal bisa memuat
hingga 100 orang penumpang, belum ditambah dengan barang-barang bawaan
penumpang dan beberapa kendaraan roda dua yang bisa ditempatkan di samping dan
haluan kapal. Karena infrastruktur pelabuhan yang belum memadai, maka untuk
naik turun ke pantai harus menggunakan perahu kecil yang juga bisa digunakan
laksana sekoci. Selain dilayani dengan kapal reguler juga terdapat kapal mesin
yang bisa disewa jika pelayaran tidak pasti, seperti keperluan mendadak atau
terjadinya perubahan cuaca. Perlu diingat bagi para pengunjung ke Pulau Ende,
bahwa tidak terdapat penginapan sehingga pilihannya adalah pulang pada siangnya
atau menginap di rumah-rumah penduduk.
Penduduk Pulau Ende adalah 99,9%
beragama Islam yang ditandai dengan keberadaan 13 mesjid dan tiga
buah langgar. Sedangkan 0,01% adalah pendatang yang beragama lain, dengan
maksud tidak untuk menetap, seperti pekerja proyek, pegawai pemerintahan dan
tamu dari luar. Walau demikian sebagai pulau yang diisolasi dengan lautan,
mempengaruhi masyarakat Pulau Ende dari masa lalu, sehingga banyak kisah dan
peristiwa mistis yang ada di pulau ini seperti dinding batu yang mengeluarkan
air merah darah (ngazumbu), batu ceper yang berbentuk bulat yang
bisa mencukupi berapapun jumlah orang yang melengkarinya (bekas kediaman Embu
Rembotu), Pulau yang berpindah-pindah (Pulau Songo), relasi geografis antara
Pulau Ende dengan kiblat umat muslim di Mekah, dan masih banyak lagi. Sedangkan
peristiwa mistis massal yang pernah terjadi yaitu ru’upota, yaitu
hilangnya organ seksual pada anak-anak hingga orang dewasa, yang pada laki-laki
kehilangan kelaminnya, sedangkan perempuan kehilangan payudaranya. Selain
hal-hal mistis, terdapat juga destinasi wisata sejarah seperti bekas reruntuhan
benteng Portugis di dusun Kemo Desa Rendoraterua dan juga diperkirakan ada di
dusun Metinumba Desa Paderape.
Ada beberapa versi masuknya Islam ke
Pulau Ende yang diperkirakan sebelum abad ke-15, seperti dibawa oleh Jal
Jaelani Wal Ikram atau dikenal degan nama Embu Rembotu dan juga ada keyakinan
bahwa dibawa langsung Imam Safi’I sebagai utusan dari tanah Arab. Sedangkan
versi lain bahwa Islam di bawa oleh orang-orang Makasar yang dulunya dikenal
sebagai perompak (bajak laut). Di masa penguasaan Portugis sekitar awal abad
ke-17, penduduk Pulau Ende sempat dikonversi menjadi pemeluk Katolik, namun
seiring dengan berakhirnya kekuasaan Portugis di Pulau ini di akhir abad ke-18,
penduduk pulau kembali menjadi pemeluk Islam yang taat secara turun temurun
hingga kini. Pernah ada wacana pemerintah daerah kabupaten untuk merekonstruksi
kembali situs benteng dan peribadatan peninggalan Portugis, tetapi ditolak oleh
masyarakat.
Konon penduduk Pulau Ende berasal dari
keturunan pasangan Redodori dan Ndoriwoi (yang kini menjadi nama desa di Pulau
Ende). Diceritakan bahwa terdapat seorang perempuan jelmaan dari laut yang
bernama Ndoriwoi, sebagai mahluk jelmaan Ndoriwoi diam-diam
mencintai seorang pemuda lajang yang kesehariannya sebagai nelayan
bernama Redodori. Setiap pulang setelah melaut, Redodori
selalu mendapati makanan telah disiapkan dirumahnya. Karena rasa penasarannya,
maka Redodori meminta masyarakat untuk mengumpulkan ludah hasil memakan sirih
pinang, untuk ditumpahkan ke perahu yang biasa Redodori gunakan. Redodori
menginstruksikan masyarakat untuk mengabari hingga pelosok desa, seolah
Redodori sudah meninggal. Sesaat setelah mendengar kabar tersebut, Ndoriwoi
muncul untuk menangisi kematian Redodori di samping perahunya. Di saat itulah
diketahui perempuan yang selama ini diam-diam menyiapkan santapan Redodori
selama ini. Masyarakatpun dibuat tercengang oleh mahluk jelmaan ini dan
lalu menangkapnya. Namun akhirnya Redodori bersedia menikahi Ndoriwoi dan anak
keturunan mereka kemudian menjadi penghuni Pulau Ende hingga saat ini. Dan
kemudian pulau Ende didatangi oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara, yang menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat. Berada
di Pulau Ende, dengan budaya bercorak keislamannya, membawa ketentraman hati
dan keramahan laku yang akan disuguhkan untuk para pengujung dan tamu. (*)