Kisah Percintaan Gunung
Bergeser ke timur nusantara kita akan mendengar kisah
tentang gunung yang sangat menarik, tepatnya di Pulau Flores, Nusa Tenggara
Timur. Alkisah di masa dahulu kala terdapat dua orang pemuda bernama Meja dan
Wongge. Meja adalah pemuda yang jujur, bersahaja, rupawan dan baik hati,
sedangkan Wongge berpenampilan sebaliknya, baik fisik maupun sifat dan
wataknya. Kedua pemuda ini kebetulan mencintai seorang pemudi bernama Iya,
tokoh melankolis yang menjadi pujaan desa atau bisa disebut kembang desa, baik
karena memiliki kepribadian yang baik hati dan ditunjang dengan paras yang
cantik. Meja dan Wongge akhirnya memberanikan diri melamar Iya, namun hanya
pinangan Meja yang diterima sedangkan pinangan Wongge ditolak.
Tidak menerima lamarannya ditolak, Wongge akhirnya
marah besar, begitu sakit hati karena cintanya ditolak. Kemudian Wongge
beritikad jahat dan akan melakukan segala cara untuk coba menghalangi hubungan
antara Iya dan Meja. Wongge berencana untuk membunuh Meja sebagai cara untuk
mencegah bersatunya Iya dan Meja dalam perkawinan, dan berpikir bahwa dengan
terbunuh Meja setidaknya Wongge berharap bisa mendapatkan cinta Iya. Di suatu
hari ketika Meja dan Iya sedang berduaan, Wongge dengan penuh amarah datang dan
menebas putus kepala Meja dengan parang, Meja seketika tewas tak bernyawa
disamping Iya. Entah, mungkin karena kejadian ini merupakan pelanggaran adat,
maka menjelmalah ketiga tokoh ini menjadi gunung. Meja menjadi gunung di
selatan Kota Ende, Iya menjadi gunung di Semenanjung Ende dan Wongge menjadi
gunung yang terletak di Utara Kota Ende.
Kepala Gunung Meja yang ditebas Gunung Wongge terlempar ke arah Timur Laut dan menjelma menjadi Pulau Koa yang terletak tepat di timur Kota Ende, sebagai pulau karang yang tidak berpenghuni. Pulau ini terbilang misterius karena konon kabarnya sudah ada beberapa kali usaha pengeboman di masa pendudukan Jepang, tapi kemudian tumbuh kembali seperti semula. Atas kejadian tersebut hingga saat ini masyarakat Ende tak akan pernah mengijinkan upaya pemerintah untuk menghancurkan Pulau Koa, karena keberadaannya dianggap dapat menganggu aktivitas dan keselamatan penerbangan di Lapangan Terbang H. Hasan Aroeboesman Ende. Jika saja kemudian akhirnya Pulau Koa berhasil diratakan atau dihilangkan, maka dipercaya bahwa Gunung Iya akan terus menangis yang akan mengakibatkan air laut pasang tinggi dan bisa saja menenggelamkan Kota Ende dan membuat semenanjung Ende menjadi pulau tersendiri, sehingga masyarakat Ende senantiasa menjaganya sebagai pulau kramat untuk menolak bala. Masih menurut cerita beraroma mistis, bahwa Pulau Koa di saat-saat tertentu pindah kembali menduduki tubuhnya di Gunung Meja. Sedangkan Gunung Wongge yang telah membunuh Gunung Meja akhirnya merasa bersalah dan menyesali perbuatannya dan lalu menyingkir jauh ke arah Utara Kota Ende. Parang yang di gunakan Gunung Wongge memenggal kepala Gunung Meja dibuang jauh ke arah barat dan menjelma menjadi Pulau Ende, Pulau yang diyakini masyarakat Ende sebagai parang milik Wongge, karena bentuknya yang menyerupai parang yang memanjang.
Kepala Gunung Meja yang ditebas Gunung Wongge terlempar ke arah Timur Laut dan menjelma menjadi Pulau Koa yang terletak tepat di timur Kota Ende, sebagai pulau karang yang tidak berpenghuni. Pulau ini terbilang misterius karena konon kabarnya sudah ada beberapa kali usaha pengeboman di masa pendudukan Jepang, tapi kemudian tumbuh kembali seperti semula. Atas kejadian tersebut hingga saat ini masyarakat Ende tak akan pernah mengijinkan upaya pemerintah untuk menghancurkan Pulau Koa, karena keberadaannya dianggap dapat menganggu aktivitas dan keselamatan penerbangan di Lapangan Terbang H. Hasan Aroeboesman Ende. Jika saja kemudian akhirnya Pulau Koa berhasil diratakan atau dihilangkan, maka dipercaya bahwa Gunung Iya akan terus menangis yang akan mengakibatkan air laut pasang tinggi dan bisa saja menenggelamkan Kota Ende dan membuat semenanjung Ende menjadi pulau tersendiri, sehingga masyarakat Ende senantiasa menjaganya sebagai pulau kramat untuk menolak bala. Masih menurut cerita beraroma mistis, bahwa Pulau Koa di saat-saat tertentu pindah kembali menduduki tubuhnya di Gunung Meja. Sedangkan Gunung Wongge yang telah membunuh Gunung Meja akhirnya merasa bersalah dan menyesali perbuatannya dan lalu menyingkir jauh ke arah Utara Kota Ende. Parang yang di gunakan Gunung Wongge memenggal kepala Gunung Meja dibuang jauh ke arah barat dan menjelma menjadi Pulau Ende, Pulau yang diyakini masyarakat Ende sebagai parang milik Wongge, karena bentuknya yang menyerupai parang yang memanjang.
Gunung
Iya disemenanjung Ende yang dilihat dari sisi timur, tampak Gunung Meja dengan
Pulau Koa sebagai kepalanya yang terpenggal ( photo: lilianatwin.wordpress.com)
Sementara itu Gunung Iya yang merasa sedih karena
terbunuhnya Gunung Meja, kemudian menunjukkan amarahnya dengan menjadi gunung
berapi, yang masih aktif hingga saat ini. Konon kabarnya jika Gunung Iya
mengeluarkan asap atau mengeluarkan semburan, maka masyarakat Ende meyakini
bahwa Gunung Iya sedang menangis dan bersedih menyimpan kemarahannya hingga
kini. Gunung Iya masih setia mendampingi Gunung Meja yang memang letaknya
berdekatan. Sebagai kekasih Gunung Iya, jasad Gunung Meja menjadi pelindung
bagi Kota Ende, jika sewaktu-waktu Gunung Iya meletus.
Meja, Iya dan Wongge kini telah menjadi tiga gunung
yang bersaksi, walau hanya sebatas mitos ketiga gunung ini menjadi pesona
tersendiri di Kabupaten Ende. Setiap kedatangan anda ke Kota Ende, akan
terlihat jelas keberadaan Gunung Meja dengan puncak yang hilang, seolah
terpenggal dan sesuai juga dengan namanya yang menyerupai meja yang rata dan
datar. Keindahan alam yang diselimuti mitos tampaknya telah menarik perhatian
para wisatawan lokal dan mancanegara yang telah mengakui keindahan alam di Ende
ini. Pemandangan semenajung Ende dengan panorama Gunung Iya-nya, pesisir pantai
dengan kepala Gunung Meja atau Pulau Koa, dan Bandara H. Hasan Aroeboesman
dengan pemandangan Gunung Meja-nya yang mungil dan elegan, sebagai pelindung
dan ikon kota serta juga keindahan Pulau Ende yang disebut sebagai kelewangnya
Wongge.
Panorama Gunung Meja yang hampir bisa dilihat dari
sudut-sudut Kota Ende, dilihat dari Lapangan Perse
Kisah cinta di atas secara sosial antropologis
memberikan gambaran apa arti sesungguhnya cinta, bahwa cinta bukan sesuatu yang
dipaksakan tetapi sesuatu yang harus dihargai. Hubungan personal lawan jenis
lebih diikat dalam apa yang sering disebut chemistry atau
unsur yang mengikat untuk saling memiliki di antara dua orang, yang juga sangat
tergantung dari pembawaan diri masing-masing. Bukan sebuah pemaksaan kehendak,
karena sesungguhnya dalam hubungan lawan jenis yang dicari adalah kebahagiaan.
Amarah, dendam, kesombongan, iri hati dan rasa cemburu akan selalu ada dalam
setiap manusia, hanya diperlukan pengendalian diri, jika tidak semuanya akan
berujung kepada penyesalan. Legenda kisah percintaan tiga gunung, Gunung Meja,
Wongge dan Iya di atas setidaknya menjadi petuah bijak bagi konteks kehidupan
masyarakat lokal, bahwa harmoni kehidupan akan berjalan dengan baik jika kita
saling menghargai perbedaan dan menerima kekurangan. Walau memang hanya sebatas
mitos, kisah ini membawa pesan moral yang berarti dan menjadi pendidikan bagi
anak-anak, baik sebagai dongeng menjelang tidur, berbagi cerita dengan teman
sepermainan, menjadi bahan bacaan di sekolah atau juga bahan yang diceritakan
di depan kelas.