Jumat, 26 Juni 2020

Jika Jokowi Mengintervensi Kasus Hukum Novel Baswedan


Novel Baswedan memang akrab dengan sensasi dan kehebohan. Salah satu dari cara kerja polisi memang begitu. Yaitu membuat target sasaran menjadi gerah, gelisah, galau, merana, basah, lalu tinggal bungkus.
Lah, NB (Novel Baswedan) itu kan "salah satu dari banyak" penyidik KPK, dia kan bukan polisi?
Sepakat, bajunya memang KPK, tetapi ruhnya adalah polisi. Persisnya seorang tekab, orang lapangan.
NB itu dipakai KPK memang karena kemampuan "tekab-nya" itu. Brutal, kasar, cepat, taktis tanpa kompromi adalah syarat untuk sukses bekerja di lapangan. Sebab yang dihadapi adalah bandit, maling dan koruptor yang cerdik bak belut licin yang kecebur di oli bekas.
Suap adalah senjata utama para bandit untuk berkelit dari cengkeraman tangan pemangsa. Sebab tak ada satu mahluk pun yang tidak doyan disuapi.
Yang menjadi pembeda adalah, siapa yang menyuapi, bagaimana cara menyuapinya dan berapa besar nilai nominal suapan itu...
Suap adalah sebuah keniscayaan, karena sejak bayi pun kita memang sudah terbiasa disuapi...
Nah, sejak lahir, konon orang-orang kapeka ini memang tidak pernah disuapi...
Seperti kita ketahui, akhir tahun lalu polisi "secara tidak sengaja" kemudian berhasil menemukan tersangka pelaku penyiram air keras ke wajah Novel Baswedan.
Setelah melalui proses penyelidikan dan penyidikan dan berkas sudah P21, JPU kemudian readyviewed menuntut terdakwa dengan tuntutan hanya 1 (satu) tahun kurungan karena terdakwa melakukan perbuatannya itu "secara tidak sengaja."
Menurut pandangan JPU, mungkin tadinya terdakwa ini ingin menyiram ke "anu" supaya "anunya" itu keras, tapi "secara tidak sengaja" kemudian malah mengenai wajah korban.
Dalam pandangan JPU, terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang melawan hukum (Actus Reus). Tetapi ada sebuah adagium hukum berkata, "actus non facit reum, nisi mens sit rea," atau sesuatu perbuatan tidak dapat membuat orang menjadi bersalah, kecuali bila dilakukan dengan niat jahat.
Artinya, terdakwa terbukti bersalah melakukan penyiraman kepada korban, tetapi tidak ada niat jahat (mens rea) karena perbuatan itu dilakukan terdakwa "secara tidak sengaja."
Karena itu terdakwa memang harus dihukum, tetapi bukan dengan hukuman maksimal (cukup satu jam saja, eh satu tahun saja)
Soal niat jahat, ini memang seperti kentut. Bau, tapi tak berwujud. Ada actus reus, tetapi mens rea-nya tidak ada. Hanya pelaku dan Tuhan saja yang tahu, malaikat pun tidak...
Lalu bagaimana membuktikan kalau terdakwa itu memang tidak ada "niat" untuk melakukan kejahatannya itu?
Lalu ngapain pula dua orang dari daerah Depok datang pagi-pagi buta ke Kelapa Gading kalau tidak ada niatannya...
Penulis sendiri tidak "berniat" untuk membahas kasus persidangan loetjoe ini karena sejak semula penulis memang tidak percaya kalau kedua terdakwa ini adalah memang pelaku penyiraman air keras kepada NB.
Kasus ini memang terkesan dipaksakan untuk menghindari limit waktu yang sudah ditetapkan oleh Presiden Jokowi kepada Polri dalam menuntaskan kasus ini.
Artinya lebih baik Polri fokus untuk mengungkapkan kasus ini kembali. Selain itu warga masyarakat juga harus tahu dan bersabar bahwa belum tentu semua kasus bisa langsung diungkap. Ada yang setahun, dua tahun bahkan mungkin tidak bisa terungkap hingga "Lebaran Kuda" mendatang.
Apalagi untuk kasus-kasus tingkat tinggi berbau politis ataupun intrik dan konspirasi yang bahkan bisa melibatkan sipelakunya sendiri.
Adagium hukum lainnya berkata, "Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah."
Mengapa begitu?
Sebab orang jahat akan tetap melakukan kejahatannya. Sijahat sudah diberi kesempatan, tetapi dia tetap melakukan kejahatannya lagi. Dalam sebuah OTT, ia lalu di dor! Hasta la vista baby. Adios amigos... Dalam bahasa Orba, disebut juga dengan istilah di-petruskan.
Mungkin itu bagus juga untuk mengurangi subsidi BPJS,  BLT ataupun Pelatihan Pra Kerja Jokowi.
Sebagai warga negara yang baik, sudah seharusnya kita mengapresiasi dan mendukung kinerja para aparat negara, termasuk kasus yang menimpa Novel Baswedan ini.
Akan tetapi kita tidak boleh gelap mata dan "berpikir dengan hati kita," sebab apa yang terlihat, sering kali tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, apalagi bagi yang penglihatannya sudah berkurang, dan kehilangan cermin dalam hatinya.
Kembali ke mens rea tadi, orang berdiri, duduk, nungging atau jongkok tentu ada motivasinya. Ketika orang duduk, lalu mengangkat sedikit dari salah satu kakinya, tentu punya maksud dan tujuan tertentu pula.
Entah kenapa pula, Novel Baswedan ini selalu mengkait-kaitkan kasusnya ini dengan presiden Joko Widodo. Buset juga ini orang! Untung tak banyak polisi yang berbuat begitu. Bagaimana pula kalau jenderal-jenderal yang disebut-sebut NB itu melakukan hal yang sama.
Bagaimana pula dengan polisi-polisi yang kehilangan kaki atau anggota badan karena terkena bom panci teroris di pos jaga, lalu berkata, "Pak Presiden, apakah bapak tidak prihatin saya kehilangan kaki yang ada tato Vanessa Angel-nya?"
Lalu, bagaimana pula dengan kasus penganiayaan yang menyeret NB saat menjadi Kasat Reskrim di Polres Bengkulu 2004 lalu. Padahal Ketua PN Bengkulu sudah mengeluarkan SK hakim yang menangani perkara dan mengeluarkan jadwal sidang.
Karena ditekan, Jaksa kemudian menarik kembali berkas NB tersebut dan menghentikan penuntutan. Korban kemudian melakukan Praperadilan dan memenangkan Praperadilan tersebut. Namun sampai kini kasus ini tidak pernah disidangkan.
Hukum memang tajam ke bawah tapi tumpul kepada aparat penegak hukum sendiri!
Kini seorang Novel Baswedan berteriak kepada presiden agar prihatin dan mengintervensi proses hukum yang sedang dijalaninya.
Terhadap kasus hukum yang dilakukannya di Bengkulu dulu, Novel Baswedan malah kabur dan bersembunyi di balik ketiak KPK. Dia menuduh itu adalah rekayasa. Tak lupa dia menyertakan pernyataan dari Komisi Ombudsman yang menyatakan bahwa kasus di Bengkulu itu adalah rekayasa.
Memang sebelumnya, pada tahun 2112 lalu Novel Baswedan lolos dari lubang jarum setelah presiden SBY mengintervensi kasusnya. Malahan jenderalnya yang kemudia masuk bui.
Dan kini NB mencoba peruntungannya sekali lagi agar Presiden Jokowi mengintervensi kasusnya ini.
Terkait opini Komisi Ombudsman ini memang menarik sekali. Tentunya para pembayar pajak tertarik untuk melihat kinerja komisi ini, apakah sudah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai operasional mereka ini.
Di manakah tempat menguji produk hukum? Pastinya di pengadilan, bukan di koran apalagi di medsos!
Ombudsman berada di belakang Novel Baswedan, lalu mengapa ia takut menjalani persidangan kasusnya sendiri?
Kalau ia benar, tentunya ia tak perlu takut karena ia pasti akan memenangkan kasus tersebut. Apalagi jaksanya takut kepadanya. Tapi kalau ia kalah, ia pasti akan dihukum.
Tapi jangan takut, siapa tahu JPU-nya memakai rumus "secara tidak sengaja" pula.
Siapa tahu NB dituntut satu jam kurungan saja karena ia "secara tidak sengaja" telah menembak kaki korban. Kaki tersebut tidak sengaja tertembak karena tadinya NB ini ingin menembak kepala korban, hahahahaha....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Katorang samua Basudara