Jumat, 13 Oktober 2017

Ende Dari Puncak Unflor


Pagi yang cerah di atas lantai 3 kampus IV Universitas flores, sembari menikmati indahnya pemandangan pantai Ippi dan hijaunya gunung Meja, terbersit mimpi mungkinkah alam Ende yang indah seperti ini akan bertahan hingga generasi berikutnya?. Sebuah ironi yang mungkin bertentangan jika dengan berita yang dilansir Flores Pos Pada edisi Jumat, 4 Mei 2012 halaman 9 memuat berita tentang hasil penelitian WALHI NTT. Hasil studi pengelolaan sumber daya alam yang adaptif perubahan iklim yang dilakukan Eksekutif WALHI Wilayah NTT pada 6 Kabupaten sebagai sampelnya yakni; Manggarai Barat, Ende, Sumba Timur, Sumba Tengah, TTU dan TTS menyimpulkan bahwa kondisi lingkungan hidup ke-6 Kabupaten tersebut pada umumnya sudah mengalami kemerosotan yang singnifikan. Hasil studi ini memperlihatkan dampak perubahan iklim akibat pemanasan global yang semakin masif dan mengancam kehidupan manusia NTT dan alam lingkungan. Semua ini akan diperparah dengan masuknya industri ekstraktif yang tidak mempertimbangkan NTT sebagai deretan pulau-pulau kecil, yang rentan bencana.
Jika benar seperti demikian maka NTT pada umumnya berada dalam suatu ancaman yang besar dalam bidang lingkungan hidup. Pertanyaannya, apakah yang harus dilakukan? tanggung jawab siapakah untuk meningkatkan kembali kualitas lingkungan hidup? Tentunya tak mudah mengurai pembangunan dan lingkungan hidup. Namun fakta sudah menunjukan bahwa bencana alam terjadi dimana-mana, alam mulai marah dengan keserakahan manusia, dan entah bagaimana nasib anak cucu nantinya.
Lingkungan hidup selalu menjadi komoditi dari berbagai konsep dan praktik pembangunan. Lingkungan hidup diperjualbelikan seenaknya oleh para pihak yang berkepentingan tanpa mempertimbangan aspek keseimbangan ekologi dan keadilan ekologi antar gerasi. Padahal, lingkungan hidup ini bukan hanya ditujukan pada generasi sekarang tetapi harus terus diwarisi.
Herannya, kerusakan lingkungan hidup di Indonesia pada umumnya dan Propinsi Nusa Tenggara Timur pada khususnya kian hari kian bertambah parah. Bencana alam seperti banjir, longsor, puting beliung dan kekeringan menjadi realitas yang tak terhindarkan, bahkan telah menjadi rutinitas yang dialami dan sudah menjadi musiman.
“…ini bukan hukuman, hanya satu isyarat bahwa kita mesti banyak berbenah”. Ebiet G. Ade-pun menggugat dalam penggalan syair lagunya bahwa manusia memang perlu banyak berbenah dalam kehidupan.
Keindahan alam dari puncak Kengo Lantai 3 Kampus IV Universitas Flores mungkin suatu saat hanya tinggal kenangan. Jika pola pemukiman dan menarinya tangan-tangan nakal yang merambah lingkungan dengan serampangan tanpa mempedulikan pembaharuan maka bukan tak mungkin hijaunya alam akan tergusur disulap menjadi menjadi gedung-gedung dan global warming dengan iklimnya yang sudah tidak menentu akan kian menggila dan melanda bumi Soekarno ini.

Dan ketika ini sudah terjadi pada siapakah kita kembali bertanya???
Apakah pada rumput yang bergoyang? Ataukah ombak dilautan yang kian menepi?
Sebagai generasi dan tulang punggung bangsa penerus negri, marilah kita lestariakan hutan. Tanamlah pohon, dan wariskan kepada satu orang dalam keluarga setelahnya lagi ketika bertemu orang lain lagi wariskanlah kepada bahwa marilah menanam walaupun satu pohon saja. Lestari alamku indahlah negriku.

Sekian semoga bermanfaat.

sumber:
https://lemlituniflor.wordpress.com/2012/06/06/alam-ende-dari-puncak-kampus-iv-universitas-flores/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Katorang samua Basudara