“Walaupun banyak yang tidak
percaya, tapi keberadaan Homo floresiensis di suatu tempat tertentu di Flores
merupakan sesuatu yang mungkin. Dengan adanya mereka di pulau Flores kira-kira
sekitar 800 ribu tahun yang lalu dan bahkan untuk terakhir kali mereka diyakini
masih bisa ditemukan pada 13 ribu tahun yang lalu, pada dasarnya tidak ada
alasan bagi jenis hominid ini untuk tidak dapat bertahan sedikit lebih lama”
Profesor Gregory Forth yang melakukan penelitian etnografi di
Flores selama hampir seperempat abad
“Cerita tentang Ebu Gogo itu sudah
lama menjadi legenda rakyat sini. Menurut cerita orang tua kami Ebu Gogo itu
mahluk yang tinggal di lereng gunung Ebulobo. Ebu Gogo adalah sekelompok
binatang liar yang serupa dengan manusia. Mereka tidak begitu tinggi posturnya
tapi memiliki badan yang lebar – lebarnya sekitar satu meter atau lebih dan
mereka tinggal disini sebelum manusia dari barat yang menamakan dirinya “Orang
Rua” pindah ke bagian pulau Flores ini. Ebu Gogo tidak tinggal di desa, mereka
tinggal di hutan, tapi sering mendatangi desa untuk mencuri makanan dan
sejumlah barang lainnya. Makanan langsung mereka habiskan di tempat – semuanya.
Tingkah laku mereka tidak seperti manusia. Disini kami mempunyai “kula” yang
merupakan tempat makan nasii, dan kami memakan nasi dari kula tersebut, mereka
mencuri nasi dari tempat itu, sehingga terkadang penduduk setempat mengejar
binatang-binatang yang mencuri itu dengan cara: binatang yang memanjat masuk ke
mereka tutup dari luar lalu mereka timpa dengan ijuk [digunakan untuk atap
rumah] untuk selanjutnya di bakar. Tapi saya tidak tahu, Ebu Gogo itu memang
benar dibakar atau melarikan diri, tapi pada akhirnya mereka pindah dari gua
tempat mereka tinggal ke daerah dekat Bajawa. Kejadian dalam cerita diatas
terjadi sudah lama sekali sekitar ratusan tahun yang lalu...
Di salah satu desa yang ada
disekitar situ, desa Rua, yang terletak di lereng gunung yang lebih tinggi,
terdapat tarian Ebu Gogo yang mengisahkan tentang keberadaan dan perilakunya,
hingga dia menghilang. Begitulah secara ringkas cerita mengenai Ebu Gogo.
Mereka menghilang karena kelakuan mereka sendiri karena mereka suka mencuri
dari ladang dan rumah orang. Walaupun mereka serupa dengan manusia dan dapat
berjalan tegak lurus tapi bertingkah laku seperti kera”.
Cerita tentang Ebu Gogo versi Prof. Forth
Cerita tentang Ebu Gogo versi Prof. Forth
“Ketika mengunjungi Flores sebelum
publikasi kami di majalah Nature, Bert Roberts dan Gerth van den Berg
mengumpulkan cerita masyarakat Nagakeo tentang manusia kecil seperti yang
disebutkan Gregory Forth dalam bukunya Beneath the Volcano yang diterbitkan
tahun 1998. Cerita yang menakjubkan ini menyebar dalam masyarakat yang tinggal
di Flores tengah. Cerita ini mengisahkan tentang manusia kerdil yang tingginya
hanya satu meter, berambut panjang, perut buncit, telinga yang hanya menonjol
sedikit, cara berjalan yang kaku, ukuran lengan dan jari jemari yang tidak
proporsional; dan payudara kaum wanitanya yang terjuntai sehingga bisa dengan
mudah diselempangkan ke bahu. Selain payudara – sulit untuk bisa memastikan
bentuk postur tubuhnya yang memang berbeda – pendiskripsian lainnya menunjukkan
mereka sangat serupa dengan “hobbit”.
Penduduk desa mengatakan bahwa manusia kecil ini akan berbisik-bisik sesama mereka dan mengulangi ucapan penduduk desa seperti burung beo. Penduduk desa menamakan manusia kecil itu dengan Ebu Gogo yang berarti “nenek yang memakan makanan mentah”. Mereka memakan sayur-sayuran, buah-buahan dan daging mentah bahkan daging manusia. Jika makanan yang disediakan untuk mereka diletakkan dalam piring yang terbuat dari kulit buah labu, mereka akan memakan piringnya juga.
Penduduk desa mengatakan bahwa manusia kecil ini akan berbisik-bisik sesama mereka dan mengulangi ucapan penduduk desa seperti burung beo. Penduduk desa menamakan manusia kecil itu dengan Ebu Gogo yang berarti “nenek yang memakan makanan mentah”. Mereka memakan sayur-sayuran, buah-buahan dan daging mentah bahkan daging manusia. Jika makanan yang disediakan untuk mereka diletakkan dalam piring yang terbuat dari kulit buah labu, mereka akan memakan piringnya juga.
Kalau masih sebatas mencuri makanan
masih bisa ditoleransi, tapi kalau Ebu Gogo sudah mencuri atau memakan bayi
manusia, itu sudah keterlaluan. Mereka harus dimusnahkan supaya tempat tinggal
penduduk desa aman. Penduduk desa mengumpulkan serat kelapa yang kering dan
menguntit mereka ke tempat persembunyiannya. Mereka bersembunyi di sebuah gua
yang berada di muka jurang di lereng gunung Ebulobo.
Dengan menggunakan galah yang
panjangnya cukup untuk menggapai mulut gua, penduduk desa menawarkan serabut
kelapa kering kepada Ebu Gogo yang dengan rakus mengambil serabut kelapa tersebut.
Penduduk desa kemudian melemparkan serabut kelapa yang sudah dibakar api ke
dalam gua sehingga terbakar. Dan Ebu Gogo yang selamat dari api melarikan diri
dengan panik. Terakhir kali mereka terlihat sedang menuju ke arah utara, itu
sebelum desa berpindah tempat dan tidak lama sebelum Belanda menduduki wilayah
tersebut pada abad ke 19.
Apakah memang ada “hobbit”? Bert dan
Gerth setidaknya sedikit percaya akan hal itu. Apa itu gila? Mungkin. Terlepas
dari tidak mempercayai cerita rakyat setempat, kebanyakan arkeolog juga tidak
pernah merenungkan kemungkinan adanya jenis Homo seperti Homo floresiensis atau
manusia kecil seperti Ebu Gogo yang jadi kerdil karena tinggal di pulau
tersebut. Mereka beranggapan bahwa karena kecerdasannya hominid jadi sangat terisolasi
dari proses evolusi yang dapat membuat kerdil binatang yang besar atau
membesarkan binatang yang kecil...”
Gregory Forth, seorang
professor antropologi dari Universitas Adelaide yang mulai melakukan penelitian
etnografi di Flores pada tahun 1984 menuliskan dalam artikelnya “Hominid, Hairy Hominoids and the
Science of Humanity”, dan dipublikasikan dalam majalah
Anthropology 22 Juni 2005 bahwa:
“…beberapa anggota tim penemu
[hobbit] sudah berani dengan mengatakan bahwa Homo floresiensis bisa jadi telah
hidup hingga baru-baru ini dan mungkin juga masih ada yang hidup di Flores
hingga saat ini. Dalam hal ini yang sering dimaksudkan adalah Ebu Gogo – nama
yang diberikan masyarakat setempat untuk hominoid pendek, berbulu dan bertubuh
lebar yang mana dipercaya masih mendiami suatu tempat di pulau Flores hingga
200an tahun yang lalu. Secara khusus mereka mengatakan bahwa kategori manusia
ini bisa jadi serupa dengan Homo floresiensis yang berumur ratusan jika tidak
ribuan tahun yang lalu.
Saya pertama kali menemukan istilah
Ebu Gogo setelah memulai penelitian etnografi tahun 1984 yang saya lakukan di
daerah Nage, Flores tengah. Masyarakat disekitar Boawae (desa utama di Nage),
dan khususnya masyarakat yang merupakan keturunan penghuni desa tua ‘Ua (Rua),
menceritakan kepada saya bagaimana beberapa generasi sebelumnya, nenek moyang
mereka memusnahkan sekelompok manusia berbulu yang mendiami sebuah gua bernama
Lia Ula. Gua tersebut terletak tidak jauh di atas ‘Ula tua, di lereng utara
gunung Ebulobo. … Hal yang menarik dari kisah ini adalah bahwa cerita ini masuk
akal dan mengandung nilai sejarah yang jelas; dan cerita ini sangat berbeda
dari cerita-cerita penduduk Nage tentang arwah mistis. Penduduk Nage sendiri
tidak pernah mengatakan bahwa Ebu Gogo itu adalah arwah. Oleh karena itu saya
melakukan pengamatan [dalam buku tahun 1998] seperti berikut:
“tanpa percaya sepenuhnya pada
pendeskripsian manusia liar sebagai mahluk hidup alami yang utuh yang mana
sekarang ini sudah punah, seseorang bisa saja berpikir bahwa ide tentang Ebu
Gogo bisa jadi memiliki dasar empiris dalam komponen populasi
manusia di Flores sebelumnya yang sudah punah kebanyakan penduduk Nage
melukiskan mahluk ini sebagai mahluk yang tingginya antara satu meter hingga
satu seperempat meter ciri mencoloknya yang saya dapatkan dari banyak sekali
cerita penduduk Nage tentang Ebu Gogo adalah Ebu Gogo yang berjenis kelamin
perempuan memiliki payudara yang menjuntai, begitu panjangnya sehingga mereka
menyelempangkannya ke bahu mereka. bentuk payudara ini adalah salah satu ciri
Ebu Gogo yang diceritakan oleh penduduk Nage yang memiliki kesamaan dengan
ciri-ciri mahluk legendaris lainnya yang diceritakan oleh masyrakat lain di
seluruh dunia, termasuk manusia liar yang diceritakan dalam kesenian dan
kesusastraan Eropa abad pertengahan (Bernheimer 1952), sama juga seperti
hominoid spesies kripto yang disebut ‘yeti’ dari Himalaya, atau ‘sasquatch’ dan
‘bigfooot’ dari Amerika Utara (Napier 1972), termasuk juga manusia liar dari
Cina (Zhou 1982).
… darimanapun asal cerita-cerita
penduduk Nage tersebut, Ebu Gogo memang tidak memiliki kesamaan dengan
cirri-ciri arwah yang dilukiskan oleh penduduk Nage dengan penuh keyakinan –
dan sehubungan dengan hal tersebut saya yakin bahwa pendapat yang disampaikan
Roberts harus dianggap serius. Seperti yang sudah disampaikan, Nage sendiri
tidak pernah menyamakan Ebu Gogo dengan “arwah”..., Dengan melakukan itu mereka
secara konkret menunjukkan bahwa mahluk berbulu itu tidak memiliki kemampuan
untuk menghilang, berubah bentuk, atau berubah menjadi binatang dan
sebagainya.”
Lebih lanjut Prof. Forth menyebutkan
bahwa penduduk Lio yang berada di sebelah timur dari Nage menceritatakan juga
mahluk serupa yang mereka namakan lae ho’a. Saya ingat akan percakapan
saya dengan seorang penduduk lio ini (yang sendirian pada malam hari berjalan
ke gunung berapi selama berjam-jam tanpa alas kaki)…
…yang saya temui di dekat gunung
Kalimutu (fotonya dan juga tentang aborigin berbulu dari daerah barat Flores
bisa lihat bahasa Rusia):
- Apa di sini ada cerita mengenai
manusia kecil yang hidup di hutan? – tanya saya.
- Ya, ada cerita seperti itu…
- Apa mungkin itu monyet?
- Tidak, bukan monyet. Lebih mirip
manusia, hanya saja pendek dan berbulu… kami terkadang bisa mendengar
percakapan mereka…
Kembali ke Prof. Forth lagi.
“Seperti yang dapat saya ketahui dari informasi yang saya peroleh pada Agustus
2003, … mahluk tersebut sangat serupa dengan Ebu Gogo versi Nage. Lebih jauh,
dalam beberapa hal mereka bahkan lebih serupa dengan Homo floresiensis dari
pada dengan Ebu Gogo, makanya sulit mengkarakterkan mereka sebagai mahluk
pendek dan mereka (sesuai dengan yang diceritakan pada saya) tidak memiliki
payudara seperti yang diceritakan sebelumnya. Namun perbedaan utama mahluk yang
diceritakan Nage dan Lio adalah bahwa lae ho’a masih ada hingga sekarang,
walaupun sesuai dengan sejumlah sejarah lokal yang saya dengar, Homo
floresiensis tidak memiliki keterkaitan dengan Ebu Gogo seperti halnya nenek
moyang penduduk Nage…”
Dan sekarang kesimpulan saya: Dalam kenyataan, untuk beberapa alasan orang-orang yang sudah puluhan tahun tinggal dan meneliti di Flores lebih mudah percaya akan keberadaan cabang hominid yang tidak diketahui ini. Sedangkan orang-orang yang bahkan tidak tahu dimana Flores berada di dalam peta, tidak dapat mempercayainya…
Dan sekarang kesimpulan saya: Dalam kenyataan, untuk beberapa alasan orang-orang yang sudah puluhan tahun tinggal dan meneliti di Flores lebih mudah percaya akan keberadaan cabang hominid yang tidak diketahui ini. Sedangkan orang-orang yang bahkan tidak tahu dimana Flores berada di dalam peta, tidak dapat mempercayainya…
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Katorang samua Basudara