Kamis, 12 Oktober 2017

Manusia Penghuni Lereng Ebulobo-Nagekeo




EBUGOGO : manusia purba penghuni lereng Ebulobo
Walaupun banyak yang tidak percaya, tapi keberadaan Homo floresiensis di suatu tempat tertentu di Flores merupakan sesuatu yang mungkin. Dengan adanya mereka di pulau Flores kira-kira sekitar 800 ribu tahun yang lalu dan bahkan untuk terakhir kali mereka diyakini masih bisa ditemukan pada 13 ribu tahun yang lalu, pada dasarnya tidak ada alasan bagi jenis hominid ini untuk tidak dapat bertahan sedikit lebih lama” Profesor Gregory Forth yang melakukan penelitian etnografi di Flores selama hampir seperempat abad
“Cerita tentang Ebu Gogo itu sudah lama menjadi legenda rakyat sini. Menurut cerita orang tua kami Ebu Gogo itu mahluk yang tinggal di lereng gunung Ebulobo. Ebu Gogo adalah sekelompok binatang liar yang serupa dengan manusia. Mereka tidak begitu tinggi posturnya tapi memiliki badan yang lebar – lebarnya sekitar satu meter atau lebih dan mereka tinggal disini sebelum manusia dari barat yang menamakan dirinya “Orang Rua” pindah ke bagian pulau Flores ini. Ebu Gogo tidak tinggal di desa, mereka tinggal di hutan, tapi sering mendatangi desa untuk mencuri makanan dan sejumlah barang lainnya. Makanan langsung mereka habiskan di tempat – semuanya. Tingkah laku mereka tidak seperti manusia. Disini kami mempunyai “kula” yang merupakan tempat makan nasii, dan kami memakan nasi dari kula tersebut, mereka mencuri nasi dari tempat itu, sehingga terkadang penduduk setempat mengejar binatang-binatang yang mencuri itu dengan cara: binatang yang memanjat masuk ke mereka tutup dari luar lalu mereka timpa dengan ijuk [digunakan untuk atap rumah] untuk selanjutnya di bakar. Tapi saya tidak tahu, Ebu Gogo itu memang benar dibakar atau melarikan diri, tapi pada akhirnya mereka pindah dari gua tempat mereka tinggal ke daerah dekat Bajawa. Kejadian dalam cerita diatas terjadi sudah lama sekali sekitar ratusan tahun yang lalu... 
Di salah satu desa yang ada disekitar situ, desa Rua, yang terletak di lereng gunung yang lebih tinggi, terdapat tarian Ebu Gogo yang mengisahkan tentang keberadaan dan perilakunya, hingga dia menghilang. Begitulah secara ringkas cerita mengenai Ebu Gogo. Mereka menghilang karena kelakuan mereka sendiri karena mereka suka mencuri dari ladang dan rumah orang. Walaupun mereka serupa dengan manusia dan dapat berjalan tegak lurus tapi bertingkah laku seperti kera”.
Cerita tentang Ebu Gogo versi Prof. Forth
“Ketika mengunjungi Flores sebelum publikasi kami di majalah Nature, Bert Roberts dan Gerth van den Berg mengumpulkan cerita masyarakat Nagakeo tentang manusia kecil seperti yang disebutkan Gregory Forth dalam bukunya Beneath the Volcano yang diterbitkan tahun 1998. Cerita yang menakjubkan ini menyebar dalam masyarakat yang tinggal di Flores tengah. Cerita ini mengisahkan tentang manusia kerdil yang tingginya hanya satu meter, berambut panjang, perut buncit, telinga yang hanya menonjol sedikit, cara berjalan yang kaku, ukuran lengan dan jari jemari yang tidak proporsional; dan payudara kaum wanitanya yang terjuntai sehingga bisa dengan mudah diselempangkan ke bahu. Selain payudara – sulit untuk bisa memastikan bentuk postur tubuhnya yang memang berbeda – pendiskripsian lainnya menunjukkan mereka sangat serupa dengan “hobbit”.
Penduduk desa mengatakan bahwa manusia kecil ini akan berbisik-bisik sesama mereka dan mengulangi ucapan penduduk desa seperti burung beo. Penduduk desa menamakan manusia kecil itu dengan Ebu Gogo yang berarti “nenek yang memakan makanan mentah”. Mereka memakan sayur-sayuran, buah-buahan dan daging mentah bahkan daging manusia. Jika makanan yang disediakan untuk mereka diletakkan dalam piring yang terbuat dari kulit buah labu, mereka akan memakan piringnya juga. 
Kalau masih sebatas mencuri makanan masih bisa ditoleransi, tapi kalau Ebu Gogo sudah mencuri atau memakan bayi manusia, itu sudah keterlaluan. Mereka harus dimusnahkan supaya tempat tinggal penduduk desa aman. Penduduk desa mengumpulkan serat kelapa yang kering dan menguntit mereka ke tempat persembunyiannya. Mereka bersembunyi di sebuah gua yang berada di muka jurang di lereng gunung Ebulobo. 
Dengan menggunakan galah yang panjangnya cukup untuk menggapai mulut gua, penduduk desa menawarkan serabut kelapa kering kepada Ebu Gogo yang dengan rakus mengambil serabut kelapa tersebut. Penduduk desa kemudian melemparkan serabut kelapa yang sudah dibakar api ke dalam gua sehingga terbakar. Dan Ebu Gogo yang selamat dari api melarikan diri dengan panik. Terakhir kali mereka terlihat sedang menuju ke arah utara, itu sebelum desa berpindah tempat dan tidak lama sebelum Belanda menduduki wilayah tersebut pada abad ke 19. 
Apakah memang ada “hobbit”? Bert dan Gerth setidaknya sedikit percaya akan hal itu. Apa itu gila? Mungkin. Terlepas dari tidak mempercayai cerita rakyat setempat, kebanyakan arkeolog juga tidak pernah merenungkan kemungkinan adanya jenis Homo seperti Homo floresiensis atau manusia kecil seperti Ebu Gogo yang jadi kerdil karena tinggal di pulau tersebut. Mereka beranggapan bahwa karena kecerdasannya hominid jadi sangat terisolasi dari proses evolusi yang dapat membuat kerdil binatang yang besar atau membesarkan binatang yang kecil...” 
Gregory Forth, seorang professor antropologi dari Universitas Adelaide yang mulai melakukan penelitian etnografi di Flores pada tahun 1984 menuliskan dalam artikelnya “Hominid, Hairy Hominoids and the Science of Humanity”, dan dipublikasikan dalam majalah Anthropology 22 Juni 2005 bahwa: 
“…beberapa anggota tim penemu [hobbit] sudah berani dengan mengatakan bahwa Homo floresiensis bisa jadi telah hidup hingga baru-baru ini dan mungkin juga masih ada yang hidup di Flores hingga saat ini. Dalam hal ini yang sering dimaksudkan adalah Ebu Gogo – nama yang diberikan masyarakat setempat untuk hominoid pendek, berbulu dan bertubuh lebar yang mana dipercaya masih mendiami suatu tempat di pulau Flores hingga 200an tahun yang lalu. Secara khusus mereka mengatakan bahwa kategori manusia ini bisa jadi serupa dengan Homo floresiensis yang berumur ratusan jika tidak ribuan tahun yang lalu. 
Saya pertama kali menemukan istilah Ebu Gogo setelah memulai penelitian etnografi tahun 1984 yang saya lakukan di daerah Nage, Flores tengah. Masyarakat disekitar Boawae (desa utama di Nage), dan khususnya masyarakat yang merupakan keturunan penghuni desa tua ‘Ua (Rua), menceritakan kepada saya bagaimana beberapa generasi sebelumnya, nenek moyang mereka memusnahkan sekelompok manusia berbulu yang mendiami sebuah gua bernama Lia Ula. Gua tersebut terletak tidak jauh di atas ‘Ula tua, di lereng utara gunung Ebulobo. … Hal yang menarik dari kisah ini adalah bahwa cerita ini masuk akal dan mengandung nilai sejarah yang jelas; dan cerita ini sangat berbeda dari cerita-cerita penduduk Nage tentang arwah mistis. Penduduk Nage sendiri tidak pernah mengatakan bahwa Ebu Gogo itu adalah arwah. Oleh karena itu saya melakukan pengamatan [dalam buku tahun 1998] seperti berikut: 
“tanpa percaya sepenuhnya pada pendeskripsian manusia liar sebagai mahluk hidup alami yang utuh yang mana sekarang ini sudah punah, seseorang bisa saja berpikir bahwa ide tentang Ebu Gogo   bisa jadi memiliki dasar empiris dalam komponen populasi manusia di Flores sebelumnya yang sudah punah kebanyakan penduduk Nage melukiskan mahluk ini sebagai mahluk yang tingginya antara satu meter hingga satu seperempat meter ciri mencoloknya yang saya dapatkan dari banyak sekali cerita penduduk Nage tentang Ebu Gogo adalah Ebu Gogo yang berjenis kelamin perempuan memiliki payudara yang menjuntai, begitu panjangnya sehingga mereka menyelempangkannya ke bahu mereka. bentuk payudara ini adalah salah satu ciri Ebu Gogo yang diceritakan oleh penduduk Nage yang memiliki kesamaan dengan ciri-ciri mahluk legendaris lainnya yang diceritakan oleh masyrakat lain di seluruh dunia, termasuk manusia liar yang diceritakan dalam kesenian dan kesusastraan Eropa abad pertengahan (Bernheimer 1952), sama juga seperti hominoid spesies kripto yang disebut ‘yeti’ dari Himalaya, atau ‘sasquatch’ dan ‘bigfooot’ dari Amerika Utara (Napier 1972), termasuk juga manusia liar dari Cina (Zhou 1982). 
… darimanapun asal cerita-cerita penduduk Nage tersebut, Ebu Gogo memang tidak memiliki kesamaan dengan cirri-ciri arwah yang dilukiskan oleh penduduk Nage dengan penuh keyakinan – dan sehubungan dengan hal tersebut saya yakin bahwa pendapat yang disampaikan Roberts harus dianggap serius. Seperti yang sudah disampaikan, Nage sendiri tidak pernah menyamakan Ebu Gogo dengan “arwah”..., Dengan melakukan itu mereka secara konkret menunjukkan bahwa mahluk berbulu itu tidak memiliki kemampuan untuk menghilang, berubah bentuk, atau berubah menjadi binatang dan sebagainya.” 
Lebih lanjut Prof. Forth menyebutkan bahwa penduduk Lio yang berada di sebelah timur dari Nage menceritatakan juga mahluk serupa yang mereka namakan lae ho’a. Saya ingat  akan percakapan saya dengan seorang penduduk lio ini (yang sendirian pada malam hari berjalan ke gunung berapi selama berjam-jam tanpa alas kaki)… 
…yang saya temui di dekat gunung Kalimutu (fotonya dan juga tentang aborigin berbulu dari daerah barat Flores bisa lihat   bahasa Rusia): 
- Apa di sini ada cerita mengenai manusia kecil yang hidup di hutan? – tanya saya. 
- Ya, ada cerita seperti itu… 
- Apa mungkin itu monyet? 
- Tidak, bukan monyet. Lebih mirip manusia, hanya saja pendek dan berbulu… kami terkadang bisa mendengar percakapan mereka… 
Kembali ke Prof. Forth lagi. “Seperti yang dapat saya ketahui dari informasi yang saya peroleh pada Agustus 2003, … mahluk tersebut sangat serupa dengan Ebu Gogo versi Nage. Lebih jauh, dalam beberapa hal mereka bahkan lebih serupa dengan Homo floresiensis dari pada dengan Ebu Gogo, makanya sulit mengkarakterkan mereka sebagai mahluk pendek dan mereka (sesuai dengan yang diceritakan pada saya) tidak memiliki payudara seperti yang diceritakan sebelumnya. Namun perbedaan utama mahluk yang diceritakan Nage dan Lio adalah bahwa lae ho’a masih ada hingga sekarang, walaupun sesuai dengan sejumlah sejarah lokal yang saya dengar, Homo floresiensis tidak memiliki keterkaitan dengan Ebu Gogo seperti halnya nenek moyang penduduk Nage…”
Dan sekarang kesimpulan saya: Dalam kenyataan, untuk beberapa alasan orang-orang yang sudah puluhan tahun tinggal dan meneliti di Flores lebih mudah percaya akan keberadaan cabang hominid yang tidak diketahui ini. Sedangkan orang-orang yang bahkan tidak tahu dimana Flores berada di dalam peta, tidak dapat mempercayainya… 
Demikian kisahnya, semoga bermanfaat ya...

Sumber:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Katorang samua Basudara