"Pajamkan mata, Bayangkan muka Walid... !"
"Mau Tidur tapi takut nampak muka Walid, iiihh....!"
Begitulah kira-kira narasi kocak yang viral belakangan ini: seorang perempuan begitu takut tertidur hingga menempelkan selotip di kelopak matanya agar tetap melek.
Lucu memang, tapi sekaligus tragis kalau kita pikirkan lebih dalam; betapa takutnya ia untuk kehilangan kendali, meski sesaat.
Dan bicara tentang “kehilangan kendali”, viralnya drama Malaysia Walid membawa kita pada refleksi yang lebih serius: jangan sampai kita, terutama perempuan, tertidur oleh bujuk rayu sosok ‘alim’ yang ternyata bertopeng.
Sekilas, film berjudul 'Bidaah' dengan sosok viral 'Walid' mungkin tampak seperti drama Malaysia biasa; berisi konflik keluarga, cinta, dan agama. Namun di balik jalan ceritanya yang viral, terselip kenyataan pahit yang harus diwaspadai: hadirnya pria-pria bertopeng agama yang memanipulasi keimanan demi nafsu.
Karakter 'Walid' bukan sekadar fiksi. Ia adalah representasi dari realitas sosial yang lebih luas di mana ‘kesalehan’ bisa disulap jadi alat untuk menjebak perempuan.
Dari Layar ke Dunia Nyata: Walid, Sosok yang Tak Lagi Fiksi
Drama Malaysia 'Bidaah' menjadi perbincangan hangat karena berani mengangkat sisi gelap dari penyalahgunaan agama.
Tokoh utama pria dalam cerita itu adalah seseorang yang fasih bicara agama, aktif berdakwah, namun diam-diam menjadikan dalil sebagai alat untuk memperdaya dan memuaskan nafsu pribadinya.
Yang membuat miris, banyak penonton merasa relate. Sebab realitas memang menunjukkan hal yang serupa: betapa banyak lelaki berkedok oknum ustadz, guru spiritual, atau suami idaman yang ternyata menggunakan “jubah keagamaan” untuk menyelubungi niat bejat.
Psikologi Sosok ‘Walid’: Antara Nafsu dan Manipulasi
Dari kacamata psikologi, tipe lelaki seperti Walid bisa dikaitkan dengan perilaku narsistik spiritual. Ia merasa memiliki otoritas moral yang tinggi, sehingga pembenaran terhadap tindakannya dianggap sah, bahkan bila itu merugikan orang lain.
Mereka pintar gaslighting: membuat korban merasa bersalah, berdosa, dan seolah tak cukup taat jika menolak ajakan atau keinginan si “guru”.
Mereka juga mahir memainkan dalil-dalil agama dengan tafsir yang menguntungkan dirinya sendiri. Hasilnya, perempuan yang rentan secara emosional atau spiritual bisa terjerat tanpa sadar.
https://www.google.com/search?
Kenapa Banyak yang Tak Sadar Sedang Dijebak?
Ada beberapa faktor yang membuat perempuan mudah masuk ke dalam jebakan “Walid KW”: Minim pemahaman agama secara utuh. Banyak perempuan hanya menerima sepenggal informasi tanpa konteks dan kritis. Tergoda tampilan luar. Gaya bicara lembut, penampilan Islami, dan rajin dakwah bisa meninabobokan. Rasa takut dianggap melawan agama. Perempuan sering ragu untuk menolak karena takut disebut "tidak taat" atau "durhaka".
Yang lebih berbahaya, kadang lingkungan pun ikut menekan agar korban diam demi “nama baik” atau “kesalehan bersama”.
Modus Halus tapi Mematikan
Awalnya, mereka mendekat dengan dalih memberi nasihat. Mulai dari DM Instagram bertema islami, konsultasi pribadi, ajakan istikharah bersama, hingga ujungnya: pernikahan siri kilat, poligami dadakan, atau bahkan eksploitasi emosional dan finansial.
Semua dibungkus rapi dengan bahasa agama dan janji “surga”. Sayangnya, tidak semua orang bisa mengenali jebakan itu dari awal.
Kajian Agama Sehat: Kritis, Bukan Fanatik Buta
Agama bukan hanya soal hafalan dalil, tapi pemahaman kontekstual yang menyejukkan.
Kita perlu belajar dari sumber yang sahih dan membuka ruang diskusi kritis. Jangan mudah percaya pada tokoh yang anti-kritik atau hanya mau didengar, tapi tidak mau diuji kebenarannya.
Ulama atau guru sejati justru rendah hati, terbuka pada masukan, dan tidak menempatkan diri sebagai “pemegang kunci surga pribadi”.
Waspada, Mungkin Para Walid KW Ada di Sekitar Kita
Jangan anggap Walid hanya ada di layar kaca. Bisa jadi ia ada di lingkaran pertemanan, lingkungan kerja, bahkan dalam komunitas rohani yang kita ikuti. Ciri-cirinya:
Terlalu sering menyitir dalil untuk mengatur kehidupan pribadi orang lain Menuntut ketaatan penuh tanpa ruang diskusi. Merendahkan perempuan dengan tafsir bias gender. Memanipulasi rasa bersalah korban agar tetap “patuh”
Perempuan harus berani berkata tidak, bertanya, dan mencari ilmu yang membebaskan, bukan mengekang.
Langkah Kritis: Edukasi, Deteksi, dan Perlindungan Diri
Agar tak menjadi korban, berikut yang bisa dilakukan:
Perkuat literasi agama. Belajar dari banyak sumber, termasuk tafsir yang humanis dan rahmatan lil ‘alamin. Jaga batas aman interaksi, bahkan dalam ruang agama. Jangan mudah terbawa euforia atau pesona. Bentuk komunitas perempuan berdaya. Ruang aman untuk bertukar pengalaman dan mendukung satu sama lain. Berani speak up. Jika merasa dimanipulasi atau dilecehkan, laporkan. Diam bukan pilihan.
Jadikan Walid Sebagai Pelajaran
Walid bukan sekadar drama viral. Ia adalah peringatan keras agar kita lebih awas, lebih cerdas, dan lebih kritis; terutama dalam menyikapi wajah-wajah religius yang ternyata menyimpan agenda tersembunyi.
Perempuan harus menjadi pembelajar yang kuat, bukan pengikut yang dibungkam. Mari buka mata, buka hati, dan buka ruang edukasi yang membebaskan.
Karena ketika perempuan memahami agama dengan utuh dan kritis, mereka tak mudah dikelabui oleh topeng kesalehan palsu. Mereka mampu membedakan antara tuntunan ilahi dan manipulasi manusia.
Dan saat satu perempuan sadar, ia akan menerangi jalan bagi yang lain. Inilah kekuatan sejati: bukan sekadar patuh, tapi sadar dan berdaya.
sumber: Drama walid "Bidaah"