Uta tabha pangan lokal Kabupaten Ngada. Cara membuatnya gampang
sekali. Jagung yang sudah ditumbuk diambil biji besarnya atau jagung bulat,
baik yang muda maupun yang tua, dicampur dengan kacang dan daun pepaya. Direbus
di periuk (bhogi) atau periuk tanah (bhogi tana) sampai lembek.
Setelah lembek, masukkan labu siam yang diiris dadu atau ubi jalar (dhao)
dipotong bulat. Kacang bisa macam- macam. Bisa kacang merah atau brenebon. Bisa
juga kacang hutan atau kacang polong. Orang di kampung menyebutnya li'e
lebha. Selain buahnya (li'e lebha), daunnya (sawa lebha) juga
bisa digunakan sebagai pengganti uta padu (daun pepaya). Setelah direbus
lembek, masukkan kelapa yang diparut kasar dan garam secukupnya. Parutan kelapa
biasanya menggunakan parut tradisional (regu), bentuknya seperti garpu dengan
ujung yang dikikir kecil-kecil dan ditancapkan pada kayu berbentuk seperti
kuda. Karena daun pepaya rasanya pahit, garam sebaiknya dimasukkan sedikit
saja. Lezat memang kalau dihidangkan saat perut lapar.
Untuk menambah cita rasa biasanya ditambah dengan sambal. Sambalnya sederhana saja. Lombok diulek sampai halus ditambah sedikit garam, masukkan tomat yang diiris-iris kecil. Di kampungku banyak daun kemangi dan bawang. Mereka biasa menanamnya di samping rumah. Sambal ini menambah khas menu uta tabha, sehingga menambah selera makan.
Uta tabha tetap menjadi konsumsi masyarakat di kampung sampai sekarang. Saudara-saudara yang datang dari kota kadang-kadang tidak mau makan kalau melihat menu tersebut. Tapi, bagi masyarakat di kampung, uta tabha adalah makanan pokok.
Nasi (maki) bagi warga adalah barang langka. Kalau ada yang mengonsumsinya, hanya orang-orang tertentu seperti guru atau pegawai. Kalau bisa makan nasi, itu rezeki luar biasa. Ya, begitulah kondisi di kampung.
Semoga saat ini orang tidak lagi semata-mata makan nasi dan lauk-pauk yang banyak dibubuhi zat pengawet, tetapi juga kembali kepada tradisi nenek moyang yakni makanan lokal yang sarat nilai gizi.
(sumber:
http://sipriseko.blogspot.com/2008/12/uta-tabha.html)