Di kaki Gunung Tambora yang megah, terbentanglah tanah Bima, Nusa Tenggara Barat. Di sinilah, tradisi pernikahan bukan hanya sekadar upacara, tetapi sebuah perayaan cinta yang kaya akan makna dan simbolisme. Kisah ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Ine dan pemuda bernama Dae, yang cintanya terjalin dalam indahnya tradisi pernikahan Bima.
Ine adalah seorang penenun kain tradisional Bima yang terkenal dengan keindahan motifnya. Dae, seorang pelaut ulung yang gagah berani, sering berlayar mencari nafkah untuk keluarganya. Pertemuan mereka di pasar tradisional mengawali kisah cinta yang tumbuh dalam kesederhanaan.
Ketika Dae memutuskan untuk melamar Ine, dimulailah serangkaian prosesi adat yang sakral. Pertama, Mpa'a Rapa, yaitu proses perkenalan keluarga Dae kepada keluarga Ine. Utusan dari keluarga Dae datang membawa sirih pinang sebagai simbol keseriusan. Jika lamaran diterima, keluarga Ine akan membalas dengan memberikan kain tenun Bima sebagai tanda persetujuan.
Setelah lamaran diterima, proses selanjutnya adalah Manca. Keluarga Dae datang kembali untuk membicarakan Boa, yaitu uang mahar yang akan diberikan kepada keluarga Ine. Besarnya Boa biasanya disesuaikan dengan status sosial dan pendidikan Ine. Prosesi ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan musyawarah mufakat.
Menjelang hari pernikahan, Ine dipingit dalam rumah selama beberapa hari. Selama masa pingitan, Ine akan dirawat dengan baik, diberi makanan bergizi, dan dipakaikan ramuan tradisional agar kulitnya bercahaya. Proses ini disebut Ndonci Ro Wadu.
Akad nikah atau Nikah Tola dilangsungkan di masjid atau di rumah keluarga Ine. Penghulu akan membacakan khutbah nikah dan menanyakan kesediaan Ine dan Dae untuk menikah. Setelah ijab kabul diucapkan, keduanya resmi menjadi suami istri di mata agama dan adat.
Puncak dari seluruh rangkaian acara adalah Hanta Ua Pua. Dae diarak keliling kampung menuju rumah Ine dengan diiringi tabuhan gendang dan tarian tradisional. Dae menunggangi kuda yang dihias indah, melambangkan keberanian dan kejantanan.
Sesampainya di rumah Ine, Dae disambut dengan upacara adat Peta Kapanca. Kaki Dae dicuci dengan air yang berisi bunga rampai dan uang logam oleh ibu Ine. Upacara ini melambangkan penyucian diri dan harapan agar Dae selalu membawa rezeki bagi keluarganya.
Setelah upacara Peta Kapanca, Dae dan Ine dipersilakan masuk ke dalam kamar pengantin yang telah dihias indah. Di sinilah, mereka akan menjalani malam pertama sebagai suami istri. Keesokan harinya, keluarga Ine akan menyelenggarakan pesta pernikahan yang meriah, mengundang seluruh warga kampung untuk ikut berbahagia.
Ine dan Dae menjalani kehidupan pernikahan dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Mereka senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan tradisi Bima. Kisah cinta mereka menjadi inspirasi bagi banyak pasangan muda di Bima, bahwa cinta sejati akan selalu bersemi dalam indahnya tradisi.
#Semoga cerita ini memberikan gambaran yang jelas tentang tradisi pernikahan di Bima!


0 Comments:
Posting Komentar
Katorang samua Basudara