Selasa, 01 Desember 2015

Mauponggo, Paulundu, Loka Pau, Jawapogo (Rumah Adat)

Jawapogo dan Rumah Adat
(Mauponggo-Nagekeo)
 Pau bhisu mena, pau bhisu rale
Semua ana tuku dari Nuga Raga yang kampong induknya kota Pau, mereka adalah penjaga tanah. Tugas antara empat suku ini untuk menjaga dan melindungi Nuga Raga. Nuga Raga terfiri dari kakak dan adik yang berada di Kota Pau yaitu Nuga dan Raga sebagai Kepala suku, yang mempunyai tanah ulayat, yaitu tanah Nuga Raga.
Di setiap anak kampong memiliki rumah adat yang berkolong. Rumah tersebut diantaranya terdiri dari Sembilan tiang, ada yang terdiri atas 12 tiang, dan rumah tersebut mesti berbentuk persegi panjang yang mempunyai empat sudut. Empat sudut itu yang mempunyai makna yang menyakan bahwa arah mata angin (yaitu Selatan, Utara, Timur, Barat). Sedangkan rumah yang mempunyai tiang Sembilan menyatakan bahwa seorang ibu yang mengandung selama Sembilan bulan. Karena menurut kepercayaan setempat bahwa rumah itu diibaratkan seorang ibu, karena penghuninya selalu berada dalam rumah. Sedangkan rumah yang memiliki dua belas tiang menyatakan bahwa satu tahun dua belas bulan. Setiap rumah adat mempunyai beberapa tingkatannya, yaitu tenda au, tenda wawo, reta tolo.
Tenda au
Tempat untuk menerima yang dating, biasa disebut ruang tamu.
Tenda wawo
Tempat untuk duduk bersama serta ruang makan bersama.
Reta tolo
Tempat yang biasa terjadi gelaran acara ndi’I te’e mere
Semisal dalam upacara meminang anak gadis (nai sa’o tingka tenda) atau dapat dikatakan nda ndawa ndeyi kebi waktu membawa belis di rumah adat.
Tentang budaya dan ritual adat keluarga mestinya dibuat dalam rumah adat bagian reta tolo (bagian ke dalam rumah). Karena disitulah ada tempat-tempat yang tidak boleh semua orang yang bias duduk, dan hanya orang-orang tertentu saja yang boleh memasukinya. Semisal anak perempuan yang keluar dari rumah itu sampai keturunannyatidak boleh berada di tempat tersebut. Tempat tersebut adalah di sudut dapur (wisu lapu).
Pengerjaan rumah adat
Langkah awal yang mesti ditempuh sebelum memulai pengerjaannya adalah membuat undi, yaitu agar bisa menentukan kapan waktu yang tepat untuk melakukan pengerjaan rumah tersebut. Meminta petunjuk leluhur, biasanya masyarakat setempat melakukannya dengan cara melihat pada hati ayam atau babi.
Setelah upacara tersebut dilakukan barulah memulai pengerjaannya. Cara kerjanya dengan bergotong royong, dan ini terjalin sehingga kini, walaupun di zaman kini nilai gotong royong seolah memudar namun itulah warisan para leluhur yang patut kita lestarikan dan menjadi panutan buat kita dan anak cucu kita nanti.
Sa'o yenda

Pola rumah adat, biasanya memanjang ke belakang ataukah memanjang ke samping sesuai lokasi tanah yang mau dibangun itu. Namun, sejak dahulu rumah adat biasanya memanjang ke belakan, karena dapurnya langsung di dalam rumah tersebut. Kebiasaan orang dahulu mengunakan alang-alang sebagai penaung atap rumah dan dindingnya terbuat dari papan ataukah pelupu dan juga gede.
Adat dan budaya masyarakat Jawapogo antara lain tentang pie ma’e (pamali).
Misalnya dalam hal perkawinan, pihak laki-laki dari anak saudari boleh mengambil lagi perempuan dari anak saudara atau disebut (anak om).
Missal lainnya; jikalau ada kematian dalam kampong, hari sesudah kubur diadakan hari raya kematian atau disebut (ie), yaitu tidak diperbolehkan siapapun masuk kebun. Menurut kebiasaan masyarakat setempat jika disaat hari dilaksanakannya ie tersebut ada yang tetap berkebun maka dia telah melanggar pantangan, dan yang demikian akan menjadi kualat dan pasti mendapat laknat atau kutukan dari leluhur.
Rumah adat itu ada yang disebut sa’o nde yenda (rumah sakral).
Di setiap kampung memiliki dua rumah adat yang berada di tengah kampung, yang biasa disebut sa’o nde dan sa’o yenda. Sa’o nde adalah rumah yang diletakkan patung laki-laki dan perempuan telanjang berdiri yang letaknya di depan rumah. Alasan mengapa harus ada satu patung laki-laki dan satunya perempuan adalah karena manusia yang berkembang dari satu laki-laki dan satu perempuan, sedangkan mengapa mesti patungnya telanjang karena pada dasarnya manusia pertama hadir ke dunia dalam keadaan tidak berpakaian. Sa’o yenda adalah rumah yang diletakkannya jara yenda (patung kuda). Jara yenda melambangkan naga nua (pelindung kampung). Di dalam sa’o yenda biasanya diletakkan tanduk-tanduk hewan yang menjadi persembahan upacara adat; sese, pebha paya yang terjadi di dalam kampung tersebut. Jara yenda yang disebutkan tadi selain sebagai pelindung kampung, juga merupakan sarana akselerasi transportasi  saat itu.
Peo nua Loka pau

Selain itu yang disebutkan sebelumnya dua sa’o  ada juga yang disebut dengan peo. Peo dapat diartikan bahwa lambang gotong-royong, lambang pemersatu. Bagi para pemilik tanah yang berada di kampung tersebut berhak menggantungkan kerbau pada peo.
Bhea sa adalah ungkapan yang menunjukkan keperkasaan dan hak atas tanah.
Contoh bhea;

“kami paya kaba ta ana ana, ya tau basa tana ko’o nuga raga. Kaba war ale, kami toto sa’o wa’a reta wawo.”
Artinya penebusan/pemulihan keseluruhan dalam rumah yang digantikan dengan kerbau.
Di dalam bhea sa menunjukkan keturunan.

“kita enga ne’e dewa reta ta ola pati pea, geta gare ga’e rale, ebu kajo, ine ame tar ale au yate, ta ola kabe ghawe.”
Artinya kita tetap memohon kekuatan pada Tuhan dan dukungan arwah leluhur.

Pandangan tentang rumah adat yaitu; rumah adat adalah tempat berkumpulnya arwah leluhur dengan begitu menjadikan tempat itu sakral.

“ila saita tolo tau (tau yewo)ne’e laga pata, peo ba puku nabe ba take.”
Artinya siapapun yang melanggar/tidak mnghiraukan  suatu kesakralan dia dipastikan akan mati oleh karena peo dan nabe.

“ebu kajo jo poco, wa’u ya’I, seku tengu ne’e wella ulu.”
Artinya kutukan dari leluhur bagi yang melanggar.

Perkembangan kehidupan manusia lokal yang dibuat setahun sekali atau sesewaktu seumur hidup, demi mendamaikan yang hidup dan para saksi bisu untuk memperoleh kekuatan Tuhan yang telah diajarkan leluhur.(sumber : Bapak Mikael L. Dhae)

Narasumber        : Bapak Mikael L. Dhae
Alamat            : Pajoreja, Desa Ululoga, Kec. Mauponggo, Kab. Nagekeo

Data diambil      : Senin, 30 November 2015
Bersama Bpk. Mikael L.Dhae setelah ambil data


Berpose bersama Bpk. Mikael L.Dhae