Jawapogo dan Rumah Adat
(Mauponggo-Nagekeo)
Pau bhisu mena, pau bhisu rale
Semua ana tuku dari Nuga Raga yang kampong induknya kota
Pau, mereka adalah penjaga tanah. Tugas antara empat suku ini untuk menjaga dan
melindungi Nuga Raga. Nuga Raga terfiri dari kakak dan adik yang berada di Kota
Pau yaitu Nuga dan Raga sebagai Kepala suku, yang mempunyai tanah ulayat, yaitu
tanah Nuga Raga.
Di setiap anak kampong memiliki rumah adat yang
berkolong. Rumah tersebut diantaranya terdiri dari Sembilan tiang, ada yang
terdiri atas 12 tiang, dan rumah tersebut mesti berbentuk persegi panjang yang
mempunyai empat sudut. Empat sudut itu yang mempunyai makna yang menyakan bahwa
arah mata angin (yaitu Selatan, Utara, Timur, Barat). Sedangkan rumah yang
mempunyai tiang Sembilan menyatakan bahwa seorang ibu yang mengandung selama
Sembilan bulan. Karena menurut kepercayaan setempat bahwa rumah itu diibaratkan
seorang ibu, karena penghuninya selalu berada dalam rumah. Sedangkan rumah yang
memiliki dua belas tiang menyatakan bahwa satu tahun dua belas bulan. Setiap
rumah adat mempunyai beberapa tingkatannya, yaitu tenda au, tenda wawo, reta
tolo.
Tenda au
Tempat untuk menerima yang dating, biasa disebut ruang
tamu.
Tenda wawo
Tempat untuk duduk bersama serta ruang makan bersama.
Reta tolo
Tempat yang biasa terjadi gelaran acara ndi’I te’e mere
Semisal dalam upacara meminang anak gadis (nai sa’o
tingka tenda) atau dapat dikatakan nda ndawa ndeyi kebi waktu
membawa belis di rumah adat.
Tentang budaya dan ritual adat keluarga mestinya dibuat
dalam rumah adat bagian reta tolo (bagian ke dalam rumah). Karena
disitulah ada tempat-tempat yang tidak boleh semua orang yang bias duduk, dan
hanya orang-orang tertentu saja yang boleh memasukinya. Semisal anak perempuan
yang keluar dari rumah itu sampai keturunannyatidak boleh berada di tempat
tersebut. Tempat tersebut adalah di sudut dapur (wisu lapu).
Pengerjaan rumah adat
Langkah awal yang mesti ditempuh sebelum memulai
pengerjaannya adalah membuat undi, yaitu agar bisa menentukan kapan waktu yang
tepat untuk melakukan pengerjaan rumah tersebut. Meminta petunjuk leluhur,
biasanya masyarakat setempat melakukannya dengan cara melihat pada hati ayam
atau babi.
Setelah upacara tersebut dilakukan barulah memulai
pengerjaannya. Cara kerjanya dengan bergotong royong, dan ini terjalin sehingga
kini, walaupun di zaman kini nilai gotong royong seolah memudar namun itulah
warisan para leluhur yang patut kita lestarikan dan menjadi panutan buat kita
dan anak cucu kita nanti.
Sa'o yenda |
Pola rumah adat, biasanya memanjang ke belakang ataukah
memanjang ke samping sesuai lokasi tanah yang mau dibangun itu. Namun, sejak
dahulu rumah adat biasanya memanjang ke belakan, karena dapurnya langsung di
dalam rumah tersebut. Kebiasaan orang dahulu mengunakan alang-alang sebagai
penaung atap rumah dan dindingnya terbuat dari papan ataukah pelupu dan juga
gede.
Adat dan budaya masyarakat Jawapogo antara lain tentang pie
ma’e (pamali).
Misalnya dalam hal perkawinan, pihak laki-laki dari anak
saudari boleh mengambil lagi perempuan dari anak saudara atau disebut (anak om).
Missal lainnya; jikalau ada kematian dalam kampong, hari
sesudah kubur diadakan hari raya kematian atau disebut (ie), yaitu tidak
diperbolehkan siapapun masuk kebun. Menurut kebiasaan masyarakat setempat jika
disaat hari dilaksanakannya ie tersebut ada yang tetap berkebun maka dia
telah melanggar pantangan, dan yang demikian akan menjadi kualat dan pasti
mendapat laknat atau kutukan dari leluhur.
Rumah adat itu ada yang disebut sa’o nde yenda (rumah
sakral).
Di setiap kampung memiliki dua rumah adat yang berada di
tengah kampung, yang biasa disebut sa’o nde dan sa’o yenda. Sa’o nde adalah
rumah yang diletakkan patung laki-laki dan perempuan telanjang berdiri yang
letaknya di depan rumah. Alasan mengapa harus ada satu patung laki-laki dan satunya
perempuan adalah karena manusia yang berkembang dari satu laki-laki dan satu
perempuan, sedangkan mengapa mesti patungnya telanjang karena pada dasarnya
manusia pertama hadir ke dunia dalam keadaan tidak berpakaian. Sa’o yenda adalah
rumah yang diletakkannya jara yenda (patung kuda). Jara yenda melambangkan
naga nua (pelindung kampung). Di dalam sa’o yenda biasanya
diletakkan tanduk-tanduk hewan yang menjadi persembahan upacara adat; sese,
pebha paya yang terjadi di dalam kampung tersebut. Jara yenda yang
disebutkan tadi selain sebagai pelindung kampung, juga merupakan sarana
akselerasi transportasi saat itu.
Peo nua Loka pau |
Selain itu yang disebutkan sebelumnya dua sa’o ada juga yang disebut dengan peo. Peo dapat
diartikan bahwa lambang gotong-royong, lambang pemersatu. Bagi para pemilik
tanah yang berada di kampung tersebut berhak menggantungkan kerbau pada peo.
Bhea sa adalah ungkapan yang menunjukkan keperkasaan dan hak atas tanah.
Contoh bhea;
“kami paya kaba ta ana ana, ya tau basa tana ko’o nuga
raga. Kaba war ale, kami toto sa’o wa’a reta wawo.”
Artinya penebusan/pemulihan keseluruhan dalam rumah yang digantikan dengan kerbau.
Di dalam bhea sa menunjukkan keturunan.
“kita enga ne’e dewa reta ta ola pati pea, geta gare ga’e
rale, ebu kajo, ine ame tar ale au yate, ta ola kabe ghawe.”
Artinya kita tetap memohon kekuatan pada Tuhan dan dukungan arwah leluhur.
Pandangan tentang rumah adat yaitu; rumah adat adalah
tempat berkumpulnya arwah leluhur dengan begitu menjadikan tempat itu sakral.
“ila saita tolo tau (tau yewo)ne’e laga pata, peo ba puku
nabe ba take.”
Artinya siapapun yang melanggar/tidak mnghiraukan
suatu kesakralan dia dipastikan akan mati oleh karena peo dan nabe.
“ebu kajo jo poco, wa’u ya’I, seku tengu ne’e wella ulu.”
Artinya kutukan dari leluhur bagi yang melanggar.
Perkembangan kehidupan manusia lokal yang dibuat setahun
sekali atau sesewaktu seumur hidup, demi mendamaikan yang hidup dan para saksi
bisu untuk memperoleh kekuatan Tuhan yang telah diajarkan leluhur.(sumber : Bapak
Mikael L. Dhae)
Narasumber :
Bapak Mikael L. Dhae
Alamat : Pajoreja, Desa Ululoga, Kec.
Mauponggo, Kab. Nagekeo
Data diambil :
Senin, 30 November 2015
Bersama Bpk. Mikael L.Dhae setelah ambil data |
Berpose bersama Bpk. Mikael L.Dhae |