Sabtu, 17 Desember 2016

Harga Pendidikan Kita

Mengapa pendidikan di Indonesia mahal ? Sebab ilustrasi pendidikan di Indonesia, terdapat di uang 20.000-an, bukan di uang seratusan.

 Ketika seorang anak SMU atau yang sederajat telah dinyatakan lulus, maka sebahagian besar dari mereka  akan mempunyai impian agar dapat diterima dibangku Universitas Negeri dimana mereka dapat mengenyam sebuah pendidikan yang berbeda dari yang biasa mereka dapatkan selama beberapa tahun.
Terpancar dari mereka sebuah kesenangan atau malah sebuah kebanggaan semu akan indahnya sebuah kehidupan yang penuh dengan dinamika dan retorika-retorika yang mampu menggoyang rezim sang penguasa. Terbayang di benak mereka sebuah diskusi dipojok-pojok ruangan ditemani dengan segelas kopi yang dikeroyok oleh beberapa orang. Belum lagi pikiran-pikiran romantis yang telah banyak mereka dengar dari kakak mereka, sebagai selingan dikala sedang mengikuti rapat-rapat atau pertemuan pertemuan yang diadakan oleh lembaga kemahasiswaan. Ataupun juga pikiran tenang interaksi antara dosen dan mahasiswa dalam membahas suatu persoalan tang didapat.
Bagitu mereka yang doa dan impiannya terwujud, maka dengan semangat yang menyala-nyala mengurus segala sesuatu yang diperlukan. Setelah itu mereka melalui sebuah prosesi penerimaan mahasiswa baru yang melibatkan mahasiswa yang lebih dahulu menginjakkan kaki di universitas ketimbang mereka. Rasa kagum nampak dari wajah mereka yang lugu sebagai mahassiwa baru. Perasaan bangga tergambar dari cara mereka meneriakkan slogan-slogan kebesaran fakultas atau universitas yang disuruhkan oleh senior mereka. Seluruh rangkain penerimaan mahasiswa baru mereka lalui dengan kesungguhan.
Tetapi kebanggaan itu tidak berumur panjang. Selang beberapa bulan kemudian, dimana mereka telah banyak melihat, mendengar dan merasakan sana sini tentang kondisi yang mereka dapatkan nanti, maka mereka mulai kehilangan orientasi. Dan akhirnya, prestasi belajar mereka mampu bertahan sampai tiga atau empat semester. Ada apa disini?
 1. Fasilitas yang tidak mewadahi
Ketika kita masuk kita akan melihat bagaimanakah ruangan kuliah kita sembari memegang buku dan senyum manis yang dipantulkannya seakan-akan fakultas atau universitas akan mewujudkan cita-citanya untuk membahagiakan sang orang tua namun ketika ia melihat ruangan kuliah disaat kuliah pertamanya ia terkejud karena ia melihat ruangan dengan ukuran 40 X 40 dengan dihadiri sekitar 60 siswa memasuki kelas tersebut dengan suara bising seakan akan kita akan memasuku ruangan bioskop dimana penonton yang bertumpuk-tumpuk. 65 menit selesai dosen yang seakan akan berceramah itu telah pergi, ketika melihat ruangan tersebut perasaanku sangat kecewa kenapa universitas yang menjadi mahkota timur seakan-akan ilusi belaka agar kita bangga masuk kesana belum lagi ketika kita dibebani biaya-biaya fasilitas aku rasa biaya tersebut tidak pernah kurasa ataukah aku masuk dalam universitas swasta yang berkedok negri dimana-mana tidak ada gratis .
 2. Penyempitan Pemikiran
Seorang dosen, ketika membuka pertemuannya dengan mahasiswa akan memberi gambaran serta beberapa buku yang wajib di baca oleh mahasiswa. Bahkan dalam perkuliahan selanjutnya pun sang dosen memberikan materi yang mau tak mau harus dicatat oleh mahasiswa. Karena tekun dan mempunyai daya analisis yang baik, maka mahasiswa tidak ragu ketika akan menghadapi ujian. Semua pertanyaan dijawab dengan baik. Rasa keyakinanpun muncul bahwa ia akan memperoleh nilai yang memuaskan dirinya. Tetapi ketika ia melihat pengumuman nilai, ternyata nilai yang ia peroleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Disini ternyata telah terjadi proses doktrinisasi. Apa yang diucapkan oleh dosen, maka itulah yang harus dihapal.
Seorang mahasiswa akan menjadi malas membaca buku dan menganalisis sesuatu permasalahan, karena ini ternyata tidak memberikan jaminan bahwa nilainya akan memuaskan. Sehingga yang tercipta adalah kebiasaan menghapal catatan yang berasal dari dosen. Atau dengan jalan pintas, membawa catatan kecil keda;lam ruangan yang akan dijadikan senjata andalan untuk menghadapi soal-soal yang terkadang sampai puluhan nomor.
 3. Mutu Pengajar yang Rendah
Setelah mahasiswa mengalami penyempitan pemikiran, mereka kembali diperhadapkan dengan tenaga-tenaga pengajar yang mutunya betul-betul memperihatinkan. Terkadang seorang dosen tidak memperhatikan gaya bahasa yang menarik perhatian mahasiswa atau metode dalam menyampaikan suatu informasi kepada mahasiswa ternyata tidak tepat.dosen sering kali menyamaratakan antara kuliah saat pagi hari dengan kuliah siang hari atau sore hari. 
4. Tidak adanya Transparansi
Terkadang seorang mahasiswa menguasai dan menghafal seluruh bahan kuliah yang diberikan oleh dosen untuk persiapan ujian. Mahasiswa ini juga adalah mahasiswa yang tergolong sebagai mahasiswa yang rajin, baik menghadiri kuliah maupun dalam hal mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen kepadanya. Ketika ujian berlangsung, semua soal ia kerjakan dengan baik tanpa cela . Tetapi ketika pengumuman, ternyata dia dinyatakan tidak lulus. Sebaliknya ada  mahasiswa yang sangat berlawanan dengan ciri-cirinya dengan mahasiswa di atas, justru melupakan kegembiraannya karena lulus dengan nilai yang baik.
Sebuah tanda tanya besar menghadang. Bagaimana kriteria dosen dalam menilai ? mengapa tidak pernah ada transparansi dari dosen sehingga mahasiswa dapat melihat dimana kekurangannya ? dan mengapa dosen seperti ini tidak dapat dituntut?. Dan kadangkala kita disuruh membayar segala unek-unek yang berkafan fasilitas namun fasilitas yang kita rasa sampai sekarang belum pernah kita sentuh atau pihak terkaitpun belum pernah mengumumkan akan kemanakah uang ku tersebut dan dan apakah uangku hanya dipakai membeli mobil-mobil para birokrat ? inilah yang menjadi tanda tanya besar dalam benak kita tidak dalam nilai fasilitaspun mereka seakan mempermainkan kita sebagai mahasiswa yang hanya memerlukan ijazah tanpa perlu diberikan skill yang cukup. Disinilah permainan para birokrat-Borokrat kampus mereka tidak mau mahasiswa mencampuri keuanagan kampus tapi dalam buku yang dipakai untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran disitu telah terdapat ratusan uang mahasiswa yang telah terkumpul.
 5. Semester Pendek
Ternyata ketidak lulusan tidak membuat mahasiswa berputus asa , karena masih ada mahluk yang bernama semester pendek yang hadir setiap tahun diakhir semester genap.  Dengan membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku (katanya!!) maka mahasiswa dapat memperbaiki nilainya dengan mengambil mata kuliah yang tidak lulus. Tapi pihak universitas lupa-lupa bahwa tidak semua mahasiswa tergolong dalam keluarga mampu, apalagi disaat “lapar” sekarang ini. Jangankan untuk membayar SPP dan semester pendek , untuk kebuthan hidup sehari-hari saja sudah sabgat payah
Entah disengaja atau tidak, keempat faktor diatas sepertinya tersusun dengan sangat tersrukturdan terencana. Tapi apakah ada rencana besar di balik itu?
Kalau kita biarkan ini terjadi dan tidak ada nilai plus yang mereka berikan kepada kita apakah kita sebagai mahasiswa dimana mempunyai pemikiran yang jauh dibandingkan yang lain hanya bisa diam dalam ruangan kuliah tersebut ataukah betul apa yang saya katakana tadi bahwa kita sebagai mahasiswa hanya memerlukan ijazah tanpa memerlukan ketermpilan khusus. Kalau saya berpikiran tersebut saya tidak usah lama-lama kuliah saya hanya mendekati birokrat kampus dan membeli ijazah tersebut dengan berapapun harganya, dan itu tidak memakan waktu bertahun tahun.  Marilah kita bersama sama berpikir kembali untuk apa kita disini dan bagainmanakah kondisi lingkungan kampus atau fakultas kita dan marilah kita bersama-sama membangun sebuah pendidikan dimana pendidikan itu ilmiah dan demokratis bagi kita “ DUDUK TERTINDAS ATAU BANGKIT MELAWAN KARENA DIAM, KOMPROMI, MUNDUR ADALAH PENGHIANAT”.
Sekian setoreh tulisanku ini semoga tulisan ini menjadi semangat kita untuk mengetahui lebih dalam apa itu pendidikan dan sadar apa yang mereka perbuat dengan kita.
 Bangun sekolah-sekolah pembebasan

terimakasih sudah membacanya semoga bemanfaat ya...

Karya :adhieg* dipublikasi ulang oleh Ardian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Katorang samua Basudara