Mengapa pendidikan di Indonesia mahal
? Sebab ilustrasi pendidikan di Indonesia, terdapat di uang 20.000-an, bukan di uang
seratusan.
Ketika seorang
anak SMU atau yang sederajat telah dinyatakan lulus, maka sebahagian besar dari
mereka akan mempunyai impian agar dapat
diterima dibangku Universitas Negeri dimana mereka dapat mengenyam sebuah
pendidikan yang berbeda dari yang biasa mereka dapatkan selama beberapa tahun.
Terpancar dari
mereka sebuah kesenangan atau malah sebuah kebanggaan semu akan indahnya sebuah
kehidupan yang penuh dengan dinamika dan retorika-retorika yang mampu menggoyang
rezim sang penguasa. Terbayang di benak mereka sebuah diskusi dipojok-pojok
ruangan ditemani dengan segelas kopi yang dikeroyok oleh beberapa orang. Belum lagi
pikiran-pikiran romantis yang telah banyak mereka dengar dari kakak mereka,
sebagai selingan dikala sedang mengikuti rapat-rapat atau pertemuan pertemuan
yang diadakan oleh lembaga kemahasiswaan. Ataupun juga pikiran tenang interaksi
antara dosen dan mahasiswa dalam membahas suatu persoalan tang didapat.
Bagitu mereka
yang doa dan impiannya terwujud, maka dengan semangat yang menyala-nyala
mengurus segala sesuatu yang diperlukan. Setelah itu mereka melalui sebuah
prosesi penerimaan mahasiswa baru yang melibatkan mahasiswa yang lebih dahulu
menginjakkan kaki di universitas ketimbang mereka. Rasa kagum nampak dari wajah
mereka yang lugu sebagai mahassiwa baru. Perasaan bangga tergambar dari cara
mereka meneriakkan slogan-slogan kebesaran fakultas atau universitas yang
disuruhkan oleh senior mereka. Seluruh rangkain penerimaan mahasiswa baru
mereka lalui dengan kesungguhan.
Tetapi kebanggaan
itu tidak berumur panjang. Selang beberapa bulan kemudian, dimana mereka telah
banyak melihat, mendengar dan merasakan sana
sini tentang kondisi yang mereka dapatkan nanti, maka mereka mulai kehilangan
orientasi. Dan akhirnya, prestasi belajar mereka mampu bertahan sampai tiga
atau empat semester. Ada
apa disini?
1. Fasilitas
yang tidak mewadahi
Ketika kita
masuk kita akan melihat bagaimanakah ruangan kuliah kita sembari memegang buku
dan senyum manis yang dipantulkannya seakan-akan fakultas atau universitas akan
mewujudkan cita-citanya untuk membahagiakan sang orang tua namun ketika ia
melihat ruangan kuliah disaat kuliah pertamanya ia terkejud karena ia melihat
ruangan dengan ukuran 40 X 40 dengan dihadiri sekitar 60 siswa memasuki kelas
tersebut dengan suara bising seakan akan kita akan memasuku ruangan bioskop
dimana penonton yang bertumpuk-tumpuk. 65 menit selesai dosen yang seakan akan
berceramah itu telah pergi, ketika melihat ruangan tersebut perasaanku sangat
kecewa kenapa universitas yang menjadi mahkota timur seakan-akan ilusi belaka
agar kita bangga masuk kesana belum lagi ketika kita dibebani biaya-biaya
fasilitas aku rasa biaya tersebut tidak pernah kurasa ataukah aku masuk dalam
universitas swasta yang berkedok negri dimana-mana tidak ada gratis .
2. Penyempitan Pemikiran
Seorang dosen,
ketika membuka pertemuannya dengan mahasiswa akan memberi gambaran serta
beberapa buku yang wajib di baca oleh mahasiswa. Bahkan dalam perkuliahan
selanjutnya pun sang dosen memberikan materi yang mau tak mau harus dicatat
oleh mahasiswa. Karena tekun dan mempunyai daya analisis yang baik, maka
mahasiswa tidak ragu ketika akan menghadapi ujian. Semua pertanyaan dijawab
dengan baik. Rasa keyakinanpun muncul bahwa ia akan memperoleh nilai yang
memuaskan dirinya. Tetapi ketika ia melihat pengumuman nilai, ternyata nilai
yang ia peroleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Disini ternyata telah
terjadi proses doktrinisasi. Apa yang diucapkan oleh dosen, maka itulah yang
harus dihapal.
Seorang
mahasiswa akan menjadi malas membaca buku dan menganalisis sesuatu
permasalahan, karena ini ternyata tidak memberikan jaminan bahwa nilainya akan
memuaskan. Sehingga yang tercipta adalah kebiasaan menghapal catatan yang
berasal dari dosen. Atau dengan jalan pintas, membawa catatan kecil keda;lam
ruangan yang akan dijadikan senjata andalan untuk menghadapi soal-soal yang
terkadang sampai puluhan nomor.
3. Mutu Pengajar yang Rendah
Setelah
mahasiswa mengalami penyempitan pemikiran, mereka kembali diperhadapkan dengan
tenaga-tenaga pengajar yang mutunya betul-betul memperihatinkan. Terkadang
seorang dosen tidak memperhatikan gaya bahasa yang menarik perhatian mahasiswa
atau metode dalam menyampaikan suatu informasi kepada mahasiswa ternyata tidak
tepat.dosen sering kali menyamaratakan antara kuliah saat pagi hari dengan
kuliah siang hari atau sore hari.
4. Tidak adanya Transparansi
Terkadang
seorang mahasiswa menguasai dan menghafal seluruh bahan kuliah yang diberikan
oleh dosen untuk persiapan ujian. Mahasiswa ini juga adalah mahasiswa yang
tergolong sebagai mahasiswa yang rajin, baik menghadiri kuliah maupun dalam hal
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen kepadanya. Ketika ujian
berlangsung, semua soal ia kerjakan dengan baik tanpa cela . Tetapi ketika
pengumuman, ternyata dia dinyatakan tidak lulus. Sebaliknya ada mahasiswa yang sangat berlawanan dengan
ciri-cirinya dengan mahasiswa di atas, justru melupakan kegembiraannya karena
lulus dengan nilai yang baik.
Sebuah tanda
tanya besar menghadang. Bagaimana kriteria dosen dalam menilai ? mengapa tidak
pernah ada transparansi dari dosen sehingga mahasiswa dapat melihat dimana
kekurangannya ? dan mengapa dosen seperti ini tidak dapat dituntut?. Dan
kadangkala kita disuruh membayar segala unek-unek yang berkafan fasilitas namun
fasilitas yang kita rasa sampai sekarang belum pernah kita sentuh atau pihak terkaitpun
belum pernah mengumumkan akan kemanakah uang ku tersebut dan dan apakah uangku
hanya dipakai membeli mobil-mobil para birokrat ? inilah yang menjadi tanda
tanya besar dalam benak kita tidak dalam nilai fasilitaspun mereka seakan
mempermainkan kita sebagai mahasiswa yang hanya memerlukan ijazah tanpa perlu
diberikan skill yang cukup. Disinilah permainan para birokrat-Borokrat kampus
mereka tidak mau mahasiswa mencampuri keuanagan kampus tapi dalam buku yang
dipakai untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran disitu telah terdapat ratusan
uang mahasiswa yang telah terkumpul.
5. Semester Pendek
Ternyata ketidak
lulusan tidak membuat mahasiswa berputus asa , karena masih ada mahluk yang
bernama semester pendek yang hadir setiap tahun diakhir semester genap. Dengan membayar sesuai dengan ketentuan yang
berlaku (katanya!!) maka mahasiswa dapat memperbaiki nilainya dengan mengambil
mata kuliah yang tidak lulus. Tapi pihak universitas lupa-lupa bahwa tidak
semua mahasiswa tergolong dalam keluarga mampu, apalagi disaat “lapar” sekarang
ini. Jangankan untuk membayar SPP dan semester pendek , untuk kebuthan hidup
sehari-hari saja sudah sabgat payah
Entah disengaja
atau tidak, keempat faktor diatas sepertinya tersusun dengan sangat
tersrukturdan terencana. Tapi apakah ada rencana besar di balik itu?
Kalau kita
biarkan ini terjadi dan tidak ada nilai plus yang mereka berikan kepada kita
apakah kita sebagai mahasiswa dimana mempunyai pemikiran yang jauh dibandingkan
yang lain hanya bisa diam dalam ruangan kuliah tersebut ataukah betul apa yang
saya katakana tadi bahwa kita sebagai mahasiswa hanya memerlukan ijazah tanpa
memerlukan ketermpilan khusus. Kalau saya berpikiran tersebut saya tidak usah
lama-lama kuliah saya hanya mendekati birokrat kampus dan membeli ijazah
tersebut dengan berapapun harganya, dan itu tidak memakan waktu bertahun
tahun. Marilah kita bersama sama
berpikir kembali untuk apa kita disini dan bagainmanakah kondisi lingkungan
kampus atau fakultas kita dan marilah kita bersama-sama membangun sebuah
pendidikan dimana pendidikan itu ilmiah dan demokratis bagi kita “ DUDUK
TERTINDAS ATAU BANGKIT MELAWAN KARENA DIAM, KOMPROMI, MUNDUR ADALAH
PENGHIANAT”.
Sekian setoreh
tulisanku ini semoga tulisan ini menjadi semangat kita untuk mengetahui lebih
dalam apa itu pendidikan dan sadar apa yang mereka perbuat dengan kita.
Bangun sekolah-sekolah pembebasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Katorang samua Basudara