Masyarakat Lio umumnya selalu bermusyawarah dan mempersiapkan berbagai hal penting sebelum turun kemedan perang. Persiapan-persiapan itu antara lain;
1. Pi singi rete ra’i; Perluh digaris bawahi juga, dalam perspektif umum masyarakat Lio, pi sing rete ra’i juga dapat didefinisikan sebagai bentuk penghinaan moral, martabat, yang berkaitan dengan kedaulatan suatu golongan (Clan) sehingga sewaktu-waktu perang dapat muncul tidak selalu berlandaskan pada sengketa wilayah teritorial. Dahulu, ketika terjadi penghinaan moral ataupun gangguan diwilayah perbatasan (biasanya ditandai dengan mase, tugu batu dll) dari pihak luar, orang Lio yang tinggal disalah satu persekutuan biasanya selalu bernegosiasi dengan pihak yang bersengketa melalui pemimpin adat yang ditunjuk sebagai juru bicara sekaligus mediator supaya dapat menemukan solusi terbaik atas semua persoalan yang muncul. Namun, jika proses mediasi dan negosiasi mengalami kebuntuan, bukan tidak mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi perang akan berkobar dan berkecamuk ditengah masyarakat. Olehnya, seluruh sesepuh adat antara kedua persekutuan yang berbeda pun berkumpul dimasing-masing pihak bermusyawara merencanakan proses selanjutnya.
2. Wari aro ana; Adalah kelanjutan menyikapi pi singi rete ra’i dengan mempersiapkan segala peralatan perang sekaligus merencanakan strategi secara matang yang akan digunakan dalam perang. Sama halnya dengan sengketa senjata internasional, pola penggunaan strategi perang yang dilancarkan suku Lio pun selalu berdasarkan kode etik berperang atau lebih trend dikenal adalah hukum perang. Dalam hukum adat Lio, hal ini patut dijunjung tinggi demi untuk menunjukan rasa hormat seorang pejuang kepada musuhnya, sehingga, kemenangan atau kekalahan yang diterima para pejuang tersebut layak diakui eksistensinya secara bijak.
3. So boka au; adalah proses pengukuhan sumpah oleh para prajurit yang akan bertempur dimedan laga. Hal ini tentu wajib dilakukan demi menjaga loyalitas prajurit agar benar-benar mendedikasikan diri untuk clan itu sendiri. Biasanya sumpah itu diselingi dengan ritual minum darah binatang kurban, atau memakan hati hewan kurban yang masih mentah. Proses ini harus dilewati oleh prajurit sehingga loyalitas prajurit itu tidak diragukan oleh pemimpinnya. Berkaitan dengan proses ini, prajurit juga harus melakukan pembersihan diri dengan membuat pengakuan atas dosa-dosa yang diperbuat. Tujuannya, supaya prajurit-prajurit itu, harus benar-benar suci sebelum berlaga demi keselamatan prajurit itu sendiri.
4. Peme Nipi; Setelah melalui beberapa tahap tadi, selanjutnya, Ata Nipi (Sang pemimpi) yang diyakini kemampuannya dipanggil untuk menentukan hari yang terbaik berdasarkan petunjuk/mimpinya sebelum pergi berperang. Selain itu, sang pemimpi juga dapat menentukan menurut penglihatannya figur-figur pejuang yang layak maju kemedan perang. Tidak dapat dipungkiri, proses semacam ini juga kerap dijumpai dalam catatan sejarah kerajaan-kerajaan kuno didunia. Dapat dikatakan, sebuah kemenangan itu tidak mutlak bertumpuh pada para prajurit saja melainkan juga melalui peran serta masyarakat lainnya kendati tidak ikut terlibat secara langsung dalam peperangan.
5. Ra nai no’o tangi-tangi; Adalah pernyataan sikap para keluarga para pejuang agar mengihklaskan anggota keluarganya untuk pergi berperang, sehingga jika prajurit kehilangan nyawa, keluarga wajib bertanggung jawab pada masing-masing pejuang. Artinya, tanggung jawab tidak perluh dibebankan kepada pemimpin adat.
6. To’o no’o telo, ko pare hago; Setiap masing-masing kerabat (berdasarkan wewa, ura aje dll) diwajibkan mempersiapkan dan menyuplai perbekalan bagi para pejuangnya selama masa peperangan. Hal ini dilakukan demi untuk menjaga pasokan bahan makanan supaya pejuang-pejuang tersebut tidak kelaparan selama bertempur.
Ketika dua atau tiga hari sebelum keberangkatan, para pejuang berkumpul di hanga untuk melakukan ritual gawi sia (Tari tandak), sementara panglima perang pergi ketempat-tempat persembahan sambil membawah beras. Diatas tempat persembahan itu, dia menaburkan beberapa butir Pu’u Pare Laka (Beras merah yang disakralkan) sambil berucap suasasa:
Ka ru’e sai wisu lulu, du’a bapu, - Makanlah wahai roh-roh di wisu lulu, leluhur
Heda hanga, Nitu pa’i - Roh-roh di heda hanga, dan arwah leluhur
Kami leja ina tebo tema, Lo moda - Hari ini kami bersatu padu dan utuh
Papa doga repa sala. - Hendaknya kami menjadi kebal, dan peluruh tak menembusi kami.
Ripi nidi, hoba lombu. - Hendaknya dedaunan menutupi kami.
We’e ogo ma’e goro - Semoga cabang dan ranting tidak menyeret kami.
Nga’a ma’e bheti - Pepohonan tak mengenai dan melukai kami.
Riwu neku ngasu - Perbanyaklah kami
Neku guta bo roa - Kami akan membawakan korban setelah ada letusan damai (perang)
Bu kuwi roe no’o are ate wawi - Kami akan menyajikan nasi dan hati babi
Mata pa’a kai, neka pa’a kai ! - Hendaknya musuh gugur dan terluka !
Menurut dogma yang dianut masyarakat suku Lio, ketika berperang, para pejuang harus mematuhi larangan-larangan (Hukum-hukum) yang ditetapkan adat yaitu:
1. Ma’e sisi leka biri - Jangan melewati jalur-jalur yang curam (Maksudnya tidak berlaku curang)
2. Ma’e leta leka fata - Jangan menjejahkan kaki pada batang pohon yang mati (Maksudnya, jangan melintasi atau menginjak korban yang sudah tak bernyawa)
3. Ma’e lima repa - Jangan merampas/menjarah (Mencuri) barang sekecil apapun dari pihak musuh.
4. Ma’e iju buli, k/hinga ndara - Jangan tergiur dengan kaum wanita ketika perang berkecamuk.
Larangan-larangan ini dimaksudkan bahwa para pejuang tersebut benar-benar menunjukan rasa hormat dan jiwa patriotnya kepada musuhnya supaya terhindar dari ancaman yang bersifat mistik atau yang sebut karma.
Setelah semua terpenuhi, barulah para pejuang tadi berangkat kemedan perang dan berperang dengan pihak yang bersengketa. Seperti yang sudah diketahui, peperangan selalu menyisahkan pengorbanan baik kalah maupun menang. Kalah dalam berperang bagi masyarakat suku Lio merupakan konsekuensi dari kegagalan mereka dalam mengelolah strategi, taktik dan teknik bertempur. Sedangkan jika menang, merupakan kesuksesan besar yang masuk dalam daftar sejarah perjuangan. Biasanya, ketika meraih kemenangan, masyarakat suku Lio selalu menetapkan tapal batas baru sesuai dengan wilayah yang direbut.
Penetapan tapal batas itu lakukan dengan prosesi ‘Ritual Mopo’. Mopo merupakan salah satu ritual paling sakral dalam tatanan adat Lio. Simbol-simbol Mopo itu ditandai dengan sesajen berupa darah ayam, telur ayam dan kepala kerbau (Holo kamba) pada tugu batu (mase) batas wilayah. Sesudah melepaskan sesajen tersebut pada tugu batu, ketua adat atau pemimpin perang mengucapkan ’suasasa pai Nitu’ (Ungkapan permohonan pada roh-roh) sebagai berikut;
Sere pe watu ae sabu, - Penguasa batu yang mengalirkan mata air,
Ture Jegha Mage Nggebha, - Penguasa pepohonan (Pohon asam dll)
Nggoro rusa Detu kua, - Tempat berkumpulnya binatang-binatang
Wewa Loghe Nusa Toe, - Pulau yang mendatangkan keturunan
Sere Kuma, - Tugu batu dilaut
Mage oto watu mopo, - Pepohonan (Pohon asam dll) dan Tugu batu ditapal batas
Mai ka bou pesa mondo gha ina, - Datanglah berkumpul dan makan bersama disini
Nira tolo sai ana mamo miu, - Lihatlah (Lindungilah) keturunanmu
We’e ana mamo muri bheri, - Supaya hidup baik,
Mbana leka jala eo mapa, - Tunjukan jalan yang lurus
Leta leka wolo eo lera, - Berjalan dibukit yang terhampar luas
Suru sai gepa gena, - Berihkan penghasilan yang melimpah
Leka tana keta watu ngga. - Ditanah baru yang sejuk dan nyaman.
Ungkapan ini dimaksudkan untuk memanggil roh-roh yang bersemayam di batu, air, bukit, pohon, tugu batu dilaut dan lain-lain supaya berkumpul serta menyantap sesajen yang dipersembahkan. Hal ini dilakukan tentu dengan pengharapan untuk melindungi diri agar terhindar dari bahaya dan godaan serta dianugerahi rejeki yang melimpah di tanah (tempat tinggal) yang sejuk dan nyaman.
7. Gare godo, tana mi watu ndena ini adalah tahapan terakhir dari semua rangkaian diatas. Disini dibicarakan proses pembagian wilayah-wilayah yang berhasil direbut kepada para pejuang yang masih hidup maupun sudah mati dimedan perang oleh para pemimpin clan. Bagi mereka yang gugur dimedan perang, dibagi berdasarkan jumlah korban sekaligus diperhitungkan dengan jumlah materiil yang dikeluarkan pihak keluarga selama masa peperangan. Harta yang dibagi berupa tanah itu dinamakan ‘Toko tuka’. Untuk mengenang jejak-jejak para pejuang disematkan pula sebuah simbol ‘bagi boge’ yang masih dapat ditemui hingga kini di wilayah Lio seperti pada ritual ‘Wake Laki’, atau ritual-ritual lainnya.
Tampaknya kini ritual perang hampir tidak dapat ditemui lagi karena peperangan sudah tidak lagi berkobar seiring dengan penyatuan wilayah-wilayah di Nusantara yang ditandai dengan detik-detik kemerdekaan Indonesia yang mengubah cara pandang masyarakat. Kendati demikian, selayaknya ini harus dipelajari dan dipertahankan supaya dapat menjadi warisan leluhur yang sangat bernilai. Sungguh tradisi ini mengandung nilai historis yang sangat rapih dikemas melalui pemikiran-pemikiran luar biasa bijaksana. Sebagai generasi yang baik dan mencintai kearifan leluhur, sepatutnya mewajibkan diri melestarikan tradisi unik ini, agar tidak punah seiring dengan berjalan nya waktu yang semakin meningkatnya dunia modern. Budaya adalah ciri khas berbagai keanekaragaman sebagai cerminan jati diri masyarakat lokal itu sendiri.
Sekian informasinya, semoga bermanfaat ya sob jangan lupa follow blog ini ya, thanks.
wassalam...
sumber:
http://atalise.blogspot.co.id/2013/01/tradisi-perang-ende-lio.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Katorang samua Basudara