Nage
Demikian
halnya, Komunitas Masyarakat Adat Nagekeo. Menurut Bapak Eperadus Dhoy Lewa,
komunitas masyarakat adat Nage tidak banyak berbeda dengan budaya Ngada. Setiap
kampung (Nua/Ola/Boa) selalu memiliki ”Peo-Ngusu-Nabe” yang merupakan simbol
persatuan dalam persekutuan adat. Ada ungkapan : ” Koko Neë dolo to, Lanu neë
tadu asu” (memiliki pembagian hak dan kewajiban yang jelas). Ada Sao Waja, Peo,
Ngadhu. Struktur masyarakat di Nage mewajibkan setiap Klan memiliki ”Hoö”.
”Hoö” adalah orang kebanyakan yang dari awalnya tidak memiliki tempat berusaha
dan mereka dimanfaatkan untuk membantu tuannya melaksanakan tugas harian
memelihara dan menggembalan ternak, berkerja di sawah dan di ladang, dan
membantu urusan dalam rumah tangga. Kemosalakian orang di Nage adalah mereka
yang dianggap berkemampuan lebih. Mereka sangat menjunjung tinggi martabat
karena setiap orang harus menunjukkan kemampuan memiliki harta benda, tanah
garapan yang luas dan ternak yang banyak. Dengan demikian status sosialnya
terangkat dan diakui. Ada ungkapan yang merupakan prinsip yang wajib dijalankan
adalah : ”Bani puü ngiï da Ngai” yang secara harafiah dapat diartikan : ”
Berani tampil karena bisa”. Masyarakat Nage memiliki fungsionaris adat seperti
:
v Mosa Ulu Laki Eko (Pemimpin
Wilayah)
v Mosa Watu Laki Tana (Pemilik
Tanah)
v Mosa Bhada Laki Wea (Mosa yang
memiliki ternak yang banyak dan harta (orang berada)
v Mosa Wiwi Laki Lema ( Orang yang pandai
berbicara yang sering dipercayakan sebagai juru damai)
v Mosa Boä Laki Ola (Pemuka dalam
kampung).
Mereka memiliki
semboyan hidup :
v Kamu kana nama mala (harus
memiliki kekerabatan yang luas).
Contoh
ungkapan/pernyataan salah satu suku yang ada di Nage, sebagai berikut :
” Ta so nama
wolo dhu zele lodo, Kamu lana nama mala badha zele djdja. Kami Ebu Oba Kajo
Nanga, Kami dho dho puü zele wolo, Gheghe se tege, puü lobo leke zele, Kesu sa
loge, Kami dhodho puü pore lena zeta”.
Peo Ngusu Nabe
di Komunitas Nage memiliki struktur yang tidak jauh berbeda dengan Komunitas
Ngada karena ada Saka puü-Saka Lobo-Ada Iwu – Lado Bepi dan tugu-tugu.
Keo
Di Wilayah Keo
(Keo Tengah dan Mauponggo) dari keterangan Bapak Arnold Dhae dan Bapak Anton
Towa dari Mauponggo (yang kemudian juga disampaikan oleh Bapak Pit Yan Jo dan
Bapak Salesius Wundu dari Keo Tengah) ; di masa lampau komunitas masyarakat
adat Maü, sangat menentukkan masalah mati hidupnya sendiri. Otonomi atau hak
mengatur dan mengurus rumah tangga komunitas sebagai wilayah hukum diatur
melalui hukum adat. Kewenangan dan kewajiban tidak hanya menyangkut kepentingan
duniawi tetapi juga menyangkut kepentingan rohani. Tidak hanya berkenaan dengan
kepentingan umum/komunitas (pemerintah/negara) tetapi juga kepentingan penduduk
perseorangan. Isi otonomi menurut hukum asli sebetulnya sangat luas dan
memiliki unsur-unsur asli yang bermutu tinggi walau dalam bentuk yang sangat
sederhana. Namun sejak jaman Belanda bahkan sampai saat ini terjadi
pembatasan-pembatasan dalam otonomi dan terjadi pelanggaran-pelanggaran
terhadap hukumnya.
Setiap kampung
tradisional mempunyai sitem pemerintahan sendiri berdasarkan ”Peo Yenda”
(monumen/lambang persatuan dan kesatuan dalam kampung). Setiap ”Peo Yenda”
terdapat pemangku adat yang disebut ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo”. Segala urusan
dalam kampung harus mendengar perintah dari pemamngku ”Saka Puu” dan ”Saka
Lobo” Peo Yenda. Baik Saka Puu maupun Saka Lobo masing-masing mempunyai ”Tuku”
yang berfungsi sebagai penopang/pendukung. Saka Puu, Saka Lobo dan Tuku
memiliki beberapa ”Ana Tuku” dan dari ”Ana Tuku” terbagi lagi menjadi beberapa
”Woe” atau suku. Pemangku adat ”Ana Tuku” berfungsi seperti para menteri dalam
kabinet yang bertugas membentengi/menopang struktur yang ada di atasnya. Setiap
suku/Woe turun ke beberapa ”Ngapi” (bagi lika wunu). Misalnya pada saat pesta
adat ”Pebha” atau ”Para” atau ”Pa” mereka memperoleh bagian yang sama namun
tidak boleh mendahului struktur yang sudah ditetapkan di atasnya. Bila dalam
perkembangan, jumlah manusia semakin banyak maka pengaturan kepemilikan tanah
dibagi menurut suku dengan jalur yang telah digariskan. Pada masa lalu aturan
seperti ini sangat ditaati sehingga sangat jarang terjadi perselisihan.
Bila terjadi
perselisihan atau persoalan maka ada mosa yang terbatas dalam keluarga atau
suku mencari solusi pemecahaan (podo coö). Ada fungsionaris adat yang disebut
”Mosa Mere Laki Lewa” nya masing-masing. Semua persoalan dalam kelurga cukup
diselesaikan dalam rumah ”Pata soö, poto reta tolo” (jangan di bawa ke luar).
Kalau menemui jalan buntu, masih ada forum yang disebut ”Teë mere, wewa lewa”.
Masyarakat selalu mengacu pada struktur dalam rumah adat (Saö) yang disebut ”
Neë ta reta tolo” (ada yang di bagian dalam rumah yang memiliki status sebagai
pemimpin, pengatur/pengurus). ”Neë ta rade tenda” (ada yang yang di ruang
tengah), ”Neë ta rade tana” (ada yang di luar teda/moä). Mereka ini yang
menjalankan semua perintah dan sebagai pelancar semua urusan sidang. Bila ada
pertemuan dalam rumah, mereka ada di bagian depan rumah ”mera ana tenda neë
rade tana” (para pelancar urusan).
Fungsionaris
adat yang ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi di dalam komunitas kampung atau
semacam kepala kampung disebut : ”Mosa Wuku Ulu, Laki Enga Eko” dan harus
berasal dari keturunan ”Saka Puü” atau ”Saka Lobo” dan minimal dari pemangku
”Tuku”. Jika yang pertama berhalangan masih ada orang kedua dan jika keduapun
berhalangan masih ada orang ketiga dan seterusnya. Dengan demikian dari Puü ke
Lobo, Lobo ke Tuku baru turun ke Ngapi.