Senin, 05 Oktober 2015

NAGE DAN KEO

Nage
Demikian halnya, Komunitas Masyarakat Adat Nagekeo. Menurut Bapak Eperadus Dhoy Lewa, komunitas masyarakat adat Nage tidak banyak berbeda dengan budaya Ngada. Setiap kampung (Nua/Ola/Boa) selalu memiliki ”Peo-Ngusu-Nabe” yang merupakan simbol persatuan dalam persekutuan adat. Ada ungkapan : ” Koko Neë dolo to, Lanu neë tadu asu” (memiliki pembagian hak dan kewajiban yang jelas). Ada Sao Waja, Peo, Ngadhu. Struktur masyarakat di Nage mewajibkan setiap Klan memiliki ”Hoö”. ”Hoö” adalah orang kebanyakan yang dari awalnya tidak memiliki tempat berusaha dan mereka dimanfaatkan untuk membantu tuannya melaksanakan tugas harian memelihara dan menggembalan ternak, berkerja di sawah dan di ladang, dan membantu urusan dalam rumah tangga. Kemosalakian orang di Nage adalah mereka yang dianggap berkemampuan lebih. Mereka sangat menjunjung tinggi martabat karena setiap orang harus menunjukkan kemampuan memiliki harta benda, tanah garapan yang luas dan ternak yang banyak. Dengan demikian status sosialnya terangkat dan diakui. Ada ungkapan yang merupakan prinsip yang wajib dijalankan adalah : ”Bani puü ngiï da Ngai” yang secara harafiah dapat diartikan : ” Berani tampil karena bisa”. Masyarakat Nage memiliki fungsionaris adat seperti :
v Mosa Ulu Laki Eko (Pemimpin Wilayah)
v Mosa Watu Laki Tana (Pemilik Tanah)
v Mosa Bhada Laki Wea (Mosa yang memiliki ternak yang banyak dan harta (orang berada)
v Mosa Wiwi Laki Lema ( Orang yang pandai berbicara yang sering dipercayakan sebagai juru damai)
v Mosa Boä Laki Ola (Pemuka dalam kampung).
Mereka memiliki semboyan hidup :
v Kamu kana nama mala (harus memiliki kekerabatan yang luas).
Contoh ungkapan/pernyataan salah satu suku yang ada di Nage, sebagai berikut :
” Ta so nama wolo dhu zele lodo, Kamu lana nama mala badha zele djdja. Kami Ebu Oba Kajo Nanga, Kami dho dho puü zele wolo, Gheghe se tege, puü lobo leke zele, Kesu sa loge, Kami dhodho puü pore lena zeta”.
Peo Ngusu Nabe di Komunitas Nage memiliki struktur yang tidak jauh berbeda dengan Komunitas Ngada karena ada Saka puü-Saka Lobo-Ada Iwu – Lado Bepi dan tugu-tugu.
Keo
Di Wilayah Keo (Keo Tengah dan Mauponggo) dari keterangan Bapak Arnold Dhae dan Bapak Anton Towa dari Mauponggo (yang kemudian juga disampaikan oleh Bapak Pit Yan Jo dan Bapak Salesius Wundu dari Keo Tengah) ; di masa lampau komunitas masyarakat adat Maü, sangat menentukkan masalah mati hidupnya sendiri. Otonomi atau hak mengatur dan mengurus rumah tangga komunitas sebagai wilayah hukum diatur melalui hukum adat. Kewenangan dan kewajiban tidak hanya menyangkut kepentingan duniawi tetapi juga menyangkut kepentingan rohani. Tidak hanya berkenaan dengan kepentingan umum/komunitas (pemerintah/negara) tetapi juga kepentingan penduduk perseorangan. Isi otonomi menurut hukum asli sebetulnya sangat luas dan memiliki unsur-unsur asli yang bermutu tinggi walau dalam bentuk yang sangat sederhana. Namun sejak jaman Belanda bahkan sampai saat ini terjadi pembatasan-pembatasan dalam otonomi dan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hukumnya.
Setiap kampung tradisional mempunyai sitem pemerintahan sendiri berdasarkan ”Peo Yenda” (monumen/lambang persatuan dan kesatuan dalam kampung). Setiap ”Peo Yenda” terdapat pemangku adat yang disebut ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo”. Segala urusan dalam kampung harus mendengar perintah dari pemamngku ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo” Peo Yenda. Baik Saka Puu maupun Saka Lobo masing-masing mempunyai ”Tuku” yang berfungsi sebagai penopang/pendukung. Saka Puu, Saka Lobo dan Tuku memiliki beberapa ”Ana Tuku” dan dari ”Ana Tuku” terbagi lagi menjadi beberapa ”Woe” atau suku. Pemangku adat ”Ana Tuku” berfungsi seperti para menteri dalam kabinet yang bertugas membentengi/menopang struktur yang ada di atasnya. Setiap suku/Woe turun ke beberapa ”Ngapi” (bagi lika wunu). Misalnya pada saat pesta adat ”Pebha” atau ”Para” atau ”Pa” mereka memperoleh bagian yang sama namun tidak boleh mendahului struktur yang sudah ditetapkan di atasnya. Bila dalam perkembangan, jumlah manusia semakin banyak maka pengaturan kepemilikan tanah dibagi menurut suku dengan jalur yang telah digariskan. Pada masa lalu aturan seperti ini sangat ditaati sehingga sangat jarang terjadi perselisihan.
Bila terjadi perselisihan atau persoalan maka ada mosa yang terbatas dalam keluarga atau suku mencari solusi pemecahaan (podo coö). Ada fungsionaris adat yang disebut ”Mosa Mere Laki Lewa” nya masing-masing. Semua persoalan dalam kelurga cukup diselesaikan dalam rumah ”Pata soö, poto reta tolo” (jangan di bawa ke luar). Kalau menemui jalan buntu, masih ada forum yang disebut ”Teë mere, wewa lewa”. Masyarakat selalu mengacu pada struktur dalam rumah adat (Saö) yang disebut ” Neë ta reta tolo” (ada yang di bagian dalam rumah yang memiliki status sebagai pemimpin, pengatur/pengurus). ”Neë ta rade tenda” (ada yang yang di ruang tengah), ”Neë ta rade tana” (ada yang di luar teda/moä). Mereka ini yang menjalankan semua perintah dan sebagai pelancar semua urusan sidang. Bila ada pertemuan dalam rumah, mereka ada di bagian depan rumah ”mera ana tenda neë rade tana” (para pelancar urusan).

Fungsionaris adat yang ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi di dalam komunitas kampung atau semacam kepala kampung disebut : ”Mosa Wuku Ulu, Laki Enga Eko” dan harus berasal dari keturunan ”Saka Puü” atau ”Saka Lobo” dan minimal dari pemangku ”Tuku”. Jika yang pertama berhalangan masih ada orang kedua dan jika keduapun berhalangan masih ada orang ketiga dan seterusnya. Dengan demikian dari Puü ke Lobo, Lobo ke Tuku baru turun ke Ngapi.